Selasa 07 Jun 2022 04:20 WIB

Trauma tak Berujung Anak-Anak Gaza Kenang Agresi Israel 2021

Anak-anak Gaza sangat terdampak serangan Israel yang dilancarkan 2021 lalu

Rep: Mabruroh/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi agresi Israel 2021. Anak-anak Gaza sangat terdampak serangan Israel yang dilancarkan 2021 lalu.
Foto:

Dalam keadaan panik total, para tetangga berusaha membawa korban tewas dan luka-luka ke rumah sakit.

“Anak saya pergi duluan dengan mobil (ke rumah sakit), tapi saya pikir dia sudah meninggal saat itu. Tidak ada ruang untukku di dalam mobil itu. Saya dibawa ke satu lagi, dengan tiga orang lainnya terluka parah. Saya harus masuk ke bagasi dengan kaki menggantung," ceritanya. 

“Jalan menuju rumah sakit seperti melihat neraka di bumi. Ke mana pun kami melihat hancur, kebakaran di mana-mana, bom terus berjatuhan dari langit. Setengah dari Gaza telah dibom," tuturnya. 

Dia mengatakan bahwa itu tidak seperti apa pun yang pernah dia lihat sebelumnya. Israel benar-benar menargetkan warga sipil, hingga tidak ada tempat untuk lari. Api ada di mana-mana di Gaza. 

Peristiwa itu meninggalkan luka yang mendalam dan menghancurkan keluarganya. Istrinya terkena gangguan mental parah dan tidak bisa dia pulihkan. 

"Dia menyalahkan saya atas kematian putra satu-satunya kami. Hanya satu putri saya yang tinggal bersama saya dan sekarang dia selalu berdiri bersama saya, di samping ranjang rumah sakit saya," ceritanya. 

Ayah dua anak ini tetap di rumah sakit hingga satu tahun kemudian. Dia telah banyak menjalani operasi dan intervensi. "Saya tersenyum karena tidak ada lagi yang bisa saya lakukan, saya hanya bisa tersenyum,” ujarnya. 

Profesional medis MSF Ashraf (30) mengatakan bahwa agresi yang dia saksikan pada Mei 2021 tidak seperti apa pun yang pernah dia alami sebelumnya.

“Anak-anak saya ketakutan dan berteriak. Tidak ada yang bisa kami katakan untuk bisa menenangkan mereka. Saya mencoba berbohong kepada mereka, mengatakan itu kembang api, tetapi putri saya tahu bahwa saya tidak mengatakan yang sebenarnya, katanya kembang api tidak pernah sekeras itu dan mereka memiliki lampu yang cantik, yang bisa dia lihat hanyalah api di sekitar gedung kami,” kata Ashraf. 

Dia dan istrinya adalah petugas kesehatan, sehingga harus bergantian setiap hari untuk menjaga anak-anak di rumah. Setiap berada di rumah sakit, dia selalu khawatir kalau-kalau ada orang yang menghubungi dan mengatakan kondisi anak dan istrinya meninggal dunia karena bom Israel. "Agresi itu begitu kuat, ambulans MSF tidak bisa bergerak," kata dia. 

“Intensitas bom juga sesuatu yang belum pernah saya lihat dalam agresi sebelumnya. Itu adalah hujan misil, hujan lebat. Bom setiap detik, di mana-mana. Gaza tampaknya seperti kobaran api,” ungkapnya. 

Ashraf dan istrinya harus pergi ke rumah sakit dengan rekan-rekan lainnya, tidak tahu apakah mereka akan berhasil dan kembali hidup-hidup. Dia mengatakan bahwa dalam perjalanan ke rumah sakit, dia melihat bangunan "hancur total" dan "tubuh di jalanan." 

“Kami harus mendapatkan tumpangan dengan rekan kerja tanpa jaminan bahwa kami akan tiba dengan selamat ke rumah sakit. Mereka (Israel) menargetkan segalanya. Bahkan rumah sakit pun tidak aman," ceritanya. 

"Saat kami berada di ruang operasi, bom berjatuhan di sekitar kami. Salah satunya menargetkan sebuah bangunan di utara rumah sakit, yang jaraknya tidak lebih dari 300 meter. Satu lagi berada 100 meter di selatan rumah sakit," kata dia. 

“Ruang operasi terus-menerus bergetar, seolah-olah ada gempa bumi. Kami takut bahwa kami mungkin menjadi target berikutnya.”

Gelombang massa tiba di rumah sakit tempat Ashraf bekerja. Mengingat keadaan pada saat itu, tidak ada cukup darah untuk transfusi dan tidak cukup kapasitas di unit perawatan intensif. 

“Sekali lagi, kami diliputi oleh korban massal yang ditimbulkan Israel di Gaza. Kami hanya tidak bisa memperlakukan orang sebanyak itu pada saat yang bersamaan. Kami hanya bertujuan untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa di tempat. Sepsis ada di mana-mana, potensi penularan Covid19 dan penyakit menular lainnya.” 

“Tidak ada yang kami pelajari dari eskalasi sebelumnya yang membantu kami kali ini. Kami semua hanya menunggu giliran kami untuk mati. Sebelumnya, kami memiliki jeda dari pengeboman, dan koridor kemanusiaan. Kali ini, tidak ada apa-apa, tidak ada tempat untuk lari, tidak ada tempat yang aman,” kata profesional medis MSF itu. 

 

Sumber: alarabiya   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement