REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO – Pemerintah Jepang menyambut keputusan Korea Selatan (Korsel) yang akan memberikan kompensasi kepada korban kerja paksa pada masa penjajahan Jepang di Korea. Tokyo menilai, hal itu menjadi wujud keinginan Seoul memulihkan hubungan dengan mereka.
“Pemerintah Jepang menghargai langkah-langkah yang diumumkan Pemerintah Korsel hari ini sebagai upaya memulihkan hubungan Jepang-Korsel yang sehat setelah berada dalam situasi yang sangat parah akibat keputusan 2018,” kata Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi kepada awak media, Senin (6/3/2023).
Keputusan 2018 yang dimaksud Hayashi merujuk keputusan Mahkamah Agung Korsel. Kala itu, Mahkamah Agung Korsel memenangkan gugatan para korban kerja paksa Jepang.
Mahkamah Agung Korsel kemudian memerintahkan dua perusahaan Jepang, yakni Mitsubishi Heavy Industries Ltd dan Nippon Steel Corp membayar kompensasi kepada para korban. Kedua perusahaan itu menghadapi risiko asetnya di Negeri Ginseng dilikuidasi.
Korsel telah secara resmi mengusulkan pemberian kompensasi kepada 15 warga Korea yang menjadi korban kerja paksa pada masa perang Jepang. Kompensasi bakal diberikan lewat yayasan publik yang didukung Pemerintah Korsel.
Dilaporkan laman Yonhap News Agency, proposal mengenai pemberian kompensasi tersebut diumumkan Menteri Luar Luar Negeri Korsel Park Jin. Hal itu diumumkan saat pemerintahan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol sedang berusaha membangun hubungan lebih erat dengan Jepang.
Park mengatakan, Korsel dan Jepang akan menghormati deklarasi bersama tahun 1998 yang diadopsi oleh mantan presiden Kim Dae-jung serra mantan perdana menteri Keizo Obuchi. Dalam deklarasi tersebut, kedua pemimpin menyerukan untuk mengatasi masa lalu dan membangun hubungan baru. Kala itu Obuchi menyampaikan penyesalan atas 'kerusakan dan rasa sakit yang mengerikan' yang ditimbulkan oleh pemerintahan kolonial Jepang terhadap rakyat Korea.
Ke-15 warga Korea yang hendak diberi kompensasi oleh Pemerintah Korsel pernah menjadi korban kerja paksa oleh Mitsubishi Heavy Industries Ltd. dan Nippon Steel Corp. Para korban sebenarnya sudah memenangkan gugatan hukum.
Karena Korsel ingin membangun kemitraan lebih erat dengan Jepang, alih-alih menuntut pertanggungjawaban langsung ke pihak terkait, sekarang Seoul hanya mengharapkan 'sumbangan sukarela' dari sektor swasta, termasuk perusahaan Jepang. Dana tersebut bakal dihimpun oleh Yayasan Korban Mobilisasi Paksa yang berafiliasi dengan Kementerian Dalam Negeri Korsel.
Park Jin sempat merespons kritik yang menyoroti minimnya partisipasi langsung dari perusahaan-perusahaan Jepang tertuduh untuk memberikan kompensasi. Dia hanya menyebut dengan perumpamaan bahwa saat ini 'gelas sudah setengah penuh'. Park mengatakan, sisa dari gelas tersebut bisa diisi dengan tanggapan tulus dari Jepang.
Pemerintahan Presiden Yoon Suk Yeol juga berencana menggunakan Yayasan Korban Mobilisasi Paksa untuk memberi kompensasi kepada penggugat lain yang memenangkan kasus yang tertunda.
Pemerintah diperkirakan akan turut meminta sumbangan dari perusahaan-perusahaan Korsel yang mendapat manfaat dari perjanjian bilateral tahun 1965. Misalnya perusahaan pembuatan baja Korsel, POSCO, di mana Jepang menawarkan hibah sebesar 300 juta dolar AS kepada Seoul.
Para korban dan sejumlah kelompok masyarakat telah memprotes keras rencana pengalihan tanggung jawab pemberian kompensasi oleh pemerintahan Yoon Suk Yeol tersebut. Jepang menjajah Korea selama 35 tahun, yakni sejak 1910 hingga 1945.
Selama periode tersebut, sekitar 780 ribu warga Korea diwajibkan menjalani kerja paksa oleh Negeri Matahari Terbit. Jumlah itu belum termasuk perempuan yang menjadi budak seks tentara Jepang.
Jepang menyatakan, semua masalah reparasi yang terkait dengan penjajahan mereka di Korea tahun 1910-1945 diselesaikan dalam kesepakatan untuk menormalkan hubungan diplomatik bilateral pada 1965. Pemerintah Jepang belum memberikan tanggapan resmi atas inisiatif Korsel memberi kompensasi kepada para korban kerja paksa pada masa penjajahan Jepang.