Rabu 30 Aug 2023 19:37 WIB

Kudeta Militer di Gabon dan Afrika Barat Jadi Masalah Besar Bagi Eropa

Para menteri pertahanan Uni Eropa akan membahas situasi di Gabon.

Rep: Rizky Jaramaya / Amri Amrullah/ Red: Esthi Maharani
Militer Gabon melakukan kudeta pada Rabu (30/8/2023) dan membatalkan hasil pemilihan presiden. Militer berupaya menyingkirkan presiden yang telah memegang kekuasaan selama 55 tahun.
Foto: AP
Militer Gabon melakukan kudeta pada Rabu (30/8/2023) dan membatalkan hasil pemilihan presiden. Militer berupaya menyingkirkan presiden yang telah memegang kekuasaan selama 55 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Para menteri pertahanan Uni Eropa akan membahas situasi di Gabon. Kepala kebijakan luar negeri Josep Borrell pada Rabu (30/8/2023) mengatakan, kudeta di Gabon akan menambah ketidakstabilan di wilayah tersebut.

 

Sekelompok perwira senior militer Gabon muncul di televisi nasional pada Rabu dini hari dan mengatakan mereka telah mengambil alih kekuasaan. Kudeta berlangsung setelah badan pemilihan umum negara bagian mengumumkan Presiden Ali Bongo telah memenangkan masa jabatan ketiga.  

 

“Jika hal ini benar, maka ini adalah kudeta militer lainnya yang meningkatkan ketidakstabilan di seluruh kawasan,” kata Borrell, berbicara pada pertemuan para menteri pertahanan Uni Eropa di Toledo.

 

Borrell mengatakan, seluruh kawasan, mulai dari Republik Afrika Tengah, lalu Mali, Burkina Faso, Niger, dan Gabon, berada dalam situasi yang sangat sulit. Borrell mengatakan para menteri harus memikirkan secara mendalam peristiwa kudeta itu dan upaya meningkatkan kebijakan sehubungan dengan negara-negara ini.

 

“Ini adalah masalah besar bagi Eropa,” ujar Borrell.

 

Tanda-tanda kudeta di Gabon muncul hanya beberapa minggu setelah anggota pengawal presiden di Niger merebut kekuasaan dan mendirikan junta. Keluarga Bongo memiliki hubungan lama dengan mantan penguasa kolonial Prancis, sejak mendiang ayahnya, Omar Bongo, menjabat sebagai presiden selama empat dekade. Hal ini telah berada di bawah pengawasan hukum dalam beberapa tahun terakhir.

 

Beberapa anggota keluarga Bongo sedang diselidiki di Perancis. Sementara beberapa telah dikenakan tuduhan awal atas penggelapan, pencucian uang dan bentuk korupsi lainnya.

 

Bongo mengincar masa jabatan ketiga dalam pemilu akhir pekan ini.  Dia menjabat dua periode sejak berkuasa pada 2009 setelah kematian ayahnya yang memerintah negara itu selama 41 tahun.  Sekelompok tentara pemberontak lainnya mencoba melakukan kudeta pada Januari 2019, ketika Bongo berada di Maroko dalam masa pemulihan dari stroke, namun mereka dengan cepat dapat dikalahkan.

 

Dalam pemilu tersebut, Bongo menghadapi koalisi oposisi yang dipimpin oleh profesor ekonomi dan mantan menteri pendidikan Albert Ondo Ossa. Pencalonan Ossa secara mengejutkan muncul seminggu sebelum pemungutan suara.

 

Pemungutan suara diadakan di Gabon sejak kembalinya negara tersebut ke sistem multi-partai pada 1990. Pemungutan suara kerap berakhir dengan kekerasan.  Bentrokan antara pasukan pemerintah dan pengunjuk rasa setelah pemilu 2016 menewaskan empat orang. Sementara pihak oposisi m mengatakan, jumlah korban tewas jauh lebih tinggi.

 

Khawatir terjadi kekerasan, banyak orang di ibu kota pergi mengunjungi keluarga mereka di wilayah lain sebelum pemilu atau meninggalkan Gabon sama sekali. Sementara warga lainnya menimbun makanan atau meningkatkan keamanan di rumah mereka.

 

Setelah pemungutan suara minggu lalu, Menteri Komunikasi Gabon, Rodrigue Mboumba Bissawou, mengumumkan jam malam mulai pukul 19.00 sampai jam 06.00 pagi. Dia mengatakan, akses internet dibatasi tanpa batas waktu untuk meredam disinformasi dan seruan kekerasan. NetBlocks, sebuah organisasi yang melacak akses internet di seluruh dunia, mengatakan, layanan internet mengalami pemulihan sebagian di Gabon setelah kudeta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement