REPUBLIKA.CO.ID, OSLO -- Seorang aktivis hak-hak perempuan Iran, Narges Mohammadi meraih Hadiah Nobel Perdamaian 2023. Ketua Komite Nobel Norwegia, Berit Reiss-Andersen membacakan slogan yang terkait dengan gerakan hak-hak perempuan di Iran, ketika mengumumkan pemenang Nobel Perdamaian pada Jumat (6/10/2023).
“Perempuan, kehidupan, kebebasan,” kata Berit Reiss-Andersen, dilansir Aljazirah.
Mohammadi adalah seorang aktivis hak asasi manusia dan fisikawan Iran terkemuka yang telah berjuang melawan penindasan terhadap perempuan di Iran. Mohammadi fokus untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di wilayah Iran. Perempuan berusia 51 tahun ini juga seorang penulis dan wakil direktur Pusat Pembela Hak Asasi Manusia (DHRC). Mohammadi menangani isu-isu hak asasi manusia yang lebih luas, seperti kampanye menentang hukuman mati dan korupsi.
“Dia telah bekerja untuk hak asasi manusia bagi semua orang di Iran, jadi ini akan menjadi dorongan besar bagi pusat pembela hak asasi manusia dan menjadikan pekerjaannya di Iran penting,” ujar Direktur Institut Penelitian Perdamaian di Oslo, Henrik Urdal.
Mohammadi memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian atas perjuangannya melawan penindasan terhadap perempuan di Iran. Termasuk perjuangannya untuk mempromosikan hak asasi manusia dan kebebasan bagi semua orang. Dia telah bekerja dalam perjuangan perempuan Iran melawan penindasan selama 30 tahun terakhir.
Mohammadi telah berkontribusi pada gerakan akar rumput di Iran dengan memberdayakan perempuan melalui pendidikan dan advokasi. Dia juga mengorganisir protes dan aksi duduk serta menulis esai.
Mohammadi saat ini menjalani hukuman 12 tahun di Penjara Evin di Teheran atas tuduhan menyebarkan propaganda melawan negara. Dia pertama kali ditangkap pada 2011 dan ditahan di Evin.
Mohammadi kembali ditangkap pada 2015, beberapa hari setelah dia didakwa di pengadilan atas kejahatan terhadap keamanan nasional, propaganda melawan negara, dan membentuk kelompok ilegal yang bernama, Langkah demi Langkah untuk Menghentikan Hukuman Mati. Mohammadi kemudian ditahan di Penjara Pusat Zanjan dan dibebaskan pada 2020 setelah hukumannya dikurangi.
“Rezim telah menangkapnya 13 kali, menghukumnya lima kali dan menjatuhkan hukuman total 31 tahun penjara dan 154 cambukan,” kata Reiss-Andersen.
Pada September 2022 seorang perempuan muda, Mahsa Amini (22 tahun) ditangkap di Teheran oleh polisi moral karena dugaan ketidakpatuhan terhadap aturan berpakaian Iran. Amini dibawa ke pusat pendidikan ulang kemudian jatuh pingsan. Dia dilarikan ke rumah sakit dan meninggal beberapa hari kemudian.
Dalam pesan yang dikirim dari penjara, Mohammadi mengatakan, hari kematian Amini telah melambangkan penindasan rezim otoriter teokratis terhadap perempuan Iran. Setelah protes terhadap kematian Amini pecah di Iran, Mohammadi terus melaporkan pengalaman pelecehannya sebagai seorang perempuan di Penjara Evin.
“Apa yang mungkin tidak dipahami oleh pemerintah adalah semakin banyak kita yang dikurung, semakin kuat kita jadinya,” ujar Mohammadi kepada The New York Times.
Mohammadi adalah wanita Iran kedua yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian. Sebelumnya seorang wanita Iran, Shirin Ebadi memenangkan penghargaan tersebut pada 2003 atas upayanya untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia.
Ebadi adalah seorang aktivis hak asasi manusia dan pengacara asal Iran. Pada 1975, ia menjadi hakim perempuan pertama yang diangkat di peradilan Iran. Dia juga wanita Muslim pertama yang memenangkan hadiah Nobel. Dia telah berkampanye untuk reformasi hukum keluarga Iran, termasuk masalah perceraian, warisan dan perlindungan anak. Mohammadi telah bekerja dengan Ebadi dan merupakan wakil direktur DHRC, yang didirikan oleh Ebadi.
Pekerjaan Mohammadi mengorbankan kesehatannya. Dia dilaporkan menderita penyakit paru-paru dan kelainan neurologis yang menyebabkan kelumpuhan otot. Mohammadi belum bisa bertemu suami dan dua anaknya sejak dipenjara.
“Hadiah Nobel ini akan menguatkan perjuangan Narges untuk hak asasi manusia, namun yang lebih penting, ini sebenarnya adalah hadiah bagi perempuan, kehidupan dan kebebasan (gerakan),” kata suami Mohammadi, Taghi Ramahi, yang merupakan aktivis.