Kamis 07 Mar 2024 14:57 WIB

China, Perempuan, dan Upaya Mengontrol Populasi

Kebijakan China tentang dedikasi perempuan untuk bereproduksi selalu picu perdebatan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
China National Museum of Women and Children
Foto:

Biro Statistik Nasional China mengungkapkan, jumlah total penduduk di negara tersebut turun 2,08 juta atau 0,15 persen, menjadi 1,409 miliar pada 2023. Jumlah itu meningkat drastis dibandingkan yang tercatat pada 2022, yakni sebesar 850 ribu jiwa. Penurunan populasi pada 2022 merupakan yang pertama sejak 1961, yakni ketika China menghadapi kelaparan besar di bawah kepemimpinan Mao Zedong.

Populasi China berusia 60 tahun ke atas mencapai 296,97 juta pada 2023 atau sekitar 21,1 persen dari total penduduknya. Jumlah itu naik dari 280,04 juta pada 2022. Sementara tingkat kematian di China pada 2023 sebesar 7,87 per 1.000 orang, lebih tinggi dibandingkan tingkat kematian tahun 2022, yakni sebesar 7,37.

Meski menawarkan berbagai insentif untuk keluarga yang bersedia memiliki tiga anak, survei yang dilakukan situs pencarian kerja Zhilian Zhaopin terhadap perempuan profesional China pada 2022 menunjukkan hanya 0,8 persen responden meinginkan mempunyai tiga anak. Survei tersebut turut melaporkan bahwa 61 persen pelamar kerja perempuan yang menjadi responden mengaku ditanyai tentang pengasuhan anak atau status mengasuh anak oleh calon pemberi kerja. Lebih dari 38 persen perempuan yang disurvei juga menyampaikan bahwa prospek karier mereka terkena dampak negatif dari pernikahan dan membesarkan anak.

Sebuah studi tahun 2020 mengenai dampak perubahan kebijakan keluarga berencana terhadap perempuan perkotaan yang dilakukan oleh Women’s Studies Institute of China melaporkan bahwa 45 persen responden mengatakan pekerjaan mereka terkena dampak negatif dari kehamilan atau mengasuh anak. Lebih dari sepertiganya melaporkan kehilangan pendapatan.

Lebih dari 20 persen responden lainnya mengatakan bahwa mereka kehilangan kesempatan mengikuti pelatihan atau promosi akibat kehamilan dan mengasuh anak. Sebanyak 13 persen responden mengatakan mereka dipecat atau dipaksa mengundurkan diri. Sementara delapan persen lainnya mengatakan mereka mengalami penurunan pangkat.

Survei-survei tersebut menggambarkan bagaimana perempuan di China harus memilih antara berkarier atau menjadi ibu rumah tangga. Pada akhir Oktober 2022, Cina akhirnya mengamandemen Undang-Undang (UU) Perlindungan Hak dan Kepentingan Perempuan. Itu merupakan amandemen pertama yang dilakukan dalam hampir 30 tahun. Dalam UU yang telah direvisi, China melarang perusahaan atau pihak pemberi pekerjaan untuk menanyakan atau menyelidiki status perkawinan dan keibuan pelamar kerja perempuan atau menjadikan status tersebut sebagai syarat mendapatkan pekerjaan.

Direktur Penelitian untuk China di Freedom House, Yaqiu Wang, mengatakan, peraturan soal larangan penanyaan status perkawinan dan keibuan yang termaktub dalam UU Perlindungan Hak dan Kepentingan Perempuan hasil revisi tahun 2022 sebenarnya sudah ada sebelumnya. Namun amandemen diharapkan memperkuat penegakan hukum yang selama ini masih buruk.

Dalam esainya untuk Global Institute for Women’s Leadership dan turut dimuat di laman Human Rights Watch pada Februari 2023, Yaqiu mengungkapkan, pada Agustus 2022 atau sebelum UU Perindungan Hak dan Kepentingan Perempuan direvisi, 17 lembaga pemerintah pusat China secara serempak mengeluarkan pemberitahuan berisi uraian rencana pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran. Salah satu langkah utamanya adalah meningkatkan fasilitas dan layanan penitipan anak yang disponsori pemerintah.

Pemerintah China harus mengebangkan....

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement