Kamis 04 May 2017 14:41 WIB

Oposisi Suriah akan Kembali Ikut Perundingan Damai Astana

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
Pasukan pemberontak oposisi Suriah
Foto: Reuters
Pasukan pemberontak oposisi Suriah

REPUBLIKA.CO.ID, ASTANA -- Kelompok oposisi Suriah dilaporkan akan kembali mengikuti perundingan damai yang digelar di Astana, Kazakhstan, kamis (4/5). Pembicaraan yang ditengahi oleh Rusia dan Turki itu digelar untuk mengakhiri konflik Suriah.

Pembicaraan damai di Astana juga dihadiri oleh Iran.  Namun, perundingan itu hingga saat ini diyakini tidak menghasilkan kesepakatan yang berarti, seiring dengan kelompok oposisi Suriah yang masih menolak negosiasi.

Sebelumnya, oposisi mengatakan tidak lagi ingin mengikuti perundingan damai yang pertama kali diadakan pada 23 Januari lalu dan kembali diadakan pada 14 Maret lalu. Pihak oposisi memutuskan menarik diri dengan alasan Pemerintah Suriah melakukan pelanggaran dalam kesepakatan gencatan senjata yang disetujui pada Desember 2016.

Kelompok oposisi juga menuntut agar pasukan Pemerintah Suriah tidak lagi melakukan pengepungan di wilayah-wilayah kekuasaan mereka. Sejak 2011 lalu, konflik di salah satu negara Timur Tengah pecah menyusul gerakan yang ingin menggulingkan rezim Presiden Bashar Al Assad. Sebanyak lebih dari 400 ribu orang tewas dalam perang saudara yang terjadi selama hampir enam tahun tersebut.

Amerika Serikat (AS) juga mengungkapkan keraguan dalam pembicaraan tersebut. Negeri Paman Sam menilai perang di Suriah belum dan tak akan berakhir dengan mudah. Hal ini menurut negara itu terlihat dari bagaimana negosiasi berlangsung, termasuk untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata.

Rusia dan Turki pada Rabu (3/5) menyatakan diperlukan adanya zona aman di sejumlah wilayah konflik di Suriah. Melalui masing-masing pemimpin negara, yaitu Presiden Vladimir Putin dan Presiden Recep Tayyip Erdogan, hal itu dirasa sangat perlu untuk menekan dampak pertempuran, khususnya bagi warga sipil.

Baca juga,  AS Kecam Bom Rusia dan Suriah yang Tewaskan Oposisi.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement