Jumat 02 Mar 2018 02:49 WIB

Warga Ghouta Timur Bersumpah tak akan Tinggalkan Rumah

Warga harus bersembunyi di terowongan dan menghadapi kelaparan.

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Ani Nursalikah
Kelompok Syrian Civil Defense menolong seorang warga yang terluka setelah serangan udara terjadi di Ghouta, Damaskus, Suriah, Kamis (1/3).
Foto: Syrian Civil Defense White Helmets via AP
Kelompok Syrian Civil Defense menolong seorang warga yang terluka setelah serangan udara terjadi di Ghouta, Damaskus, Suriah, Kamis (1/3).

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Dengan sangat menentang serangan dan pelanggaran rezim Suriah, penduduk Ghouta Timur bersumpah tidak akan meninggalkan rumahnya bahkan jika pasukan rezim menghancurkan segalanya.

Mohammed Yaref, seorang penduduk Ghouta timur, mengatakan kepada Anadolu Agency lingkungannya yang disapu serangan rezim baru-baru ini hanya mencakup warga sipil dan tidak menyasar markas militer. Ini menunjukkan pengeboman tersebut telah membunuh setengah dari penghuni di daerah tersebut.

Yaref menuduh dunia dan Dewan Keamanan PBB berbohong dan acuh tak acuh kepada penduduk sipil yang menderita di Ghouta Timur. Dia mengungkapkan warga sipil harus bersembunyi di terowongan untuk menghindari pengeboman tersebut, namun mereka menghadapi kelaparan yang telah mengancam mereka sejak awal operasi.

"Jika hal seperti itu terjadi di Eropa atau Israel, dunia tidak akan beristirahat," katanya.

Dia meminta masyarakat internasional bergerak menghentikan apa yang terjadi di Ghouta. Yaref menekankan tidak peduli berapa lama pengeboman tersebut berlanjut, warga Ghouta Timur tidak akan meninggalkan rumah mereka. Dia menambahkan mereka lebih baik mati daripada pergi.

(Jeda Lima Jam di Ghouta Timur tak Cukup)

Sementara seorang warga lain yang berprofesi sebagai guru, Maha Okasha, mengatakan sektor pendidikan di negara ini telah menderita kerugian besar akibat pengeboman yang telah menewaskan banyak siswa dan guru. "Saya memiliki siswa kelas tiga yang terbunuh dalam pengeboman tersebut, dan seorang siswa kelas satu yang ditarik keluar dari reruntuhan dan dia masih pingsan. Guru di sekolah saya juga terbunuh, "katanya.

Warga lain, Tamim Al-Dahm mengatakan rezim telah menghancurkan segalanya di wilayah tersebut dan situasinya menjadi tak terlukiskan. "Kami adalah petani sipil sederhana dan kami bukan teroris," ujarnya.

Al-Dahm menambahkan dia terkejut dengan penggunaan semua kekuatan udara rezim tersebut terhadap Ghouta Timur. Al-Dahm menunjukkan lingkungannya terkena dua rudal yang menghancurkan puluhan rumah.

"Kami tidak akan meninggalkan tanah kami dengan risiko apa pun," kata dia.

Mohammed Awad, yang kehilangan dua anaknya dalam operasi serangan baru-baru ini, mengatakan rezim tersebut telah menargetkan segala hal dan kami menghabiskan seluruh waktu kami menarik orang keluar dari puing-puing.

Pasukan rezim Suriah yang didukung dukungan udara Rusia memulai serangannya ke Ghouta Timur pada 19 Februari. Ghouta Timur juga merupakan satu dari empat zona de-eskalasi yang didirikan pada Mei lalu oleh Rusia, Iran dan Turki untuk membendung pertumpahan darah perang sipil enam tahun di Suriah. Namun, wilayah ini telah mengalami pengeboman konstan selama berbulan-bulan, dengan ketentuan bantuan dibatasi, membuat 400 ribu warga sipil berjuang untuk bertahan hidup.

Pada Sabtu, Dewan Keamanan PBB memilih dengan suara bulat mendukung gencatan senjata 30 hari di Suriah. Karena tim penyelamat di Ghouta mengatakan pengeboman selama sepekan itu telah berlangsung lama dan tidak membiarkan mereka menghitung mayat selama serangan.

Serangan itu adalah salah satu serangan udara paling berdarah dari perang selama tujuh tahun. Tak lama setelah pemungutan suara, pesawat tempur menyerang kota lain di provinsi ini.

Sebagai tanggapan, Rusia mengumumkan pada Senin sebuah jeda kemanusiaan selama lima jam sehari di Ghouta Timur. Jeda kemanusiaan itu dimulai Selasa untuk membantu mengevakuasi warga sipil dari daerah tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement