Sabtu 14 Jul 2018 12:18 WIB

Perempuan Sudan Selatan Tuntut Perang Diakhiri

Perempuan Sudan Selatan melancarkan demonstrasi damai.

Red: Nur Aini
Tempat pengungsi Sudan Selatan yang disediakan tim PBB untuk Sudan Selatan (UNAMISS).
Foto: Reuters
Tempat pengungsi Sudan Selatan yang disediakan tim PBB untuk Sudan Selatan (UNAMISS).

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Perempuan Sudan Selatan pada Jumat (13/7) melancarkan demonstrasi damai. Mereka meneriakkan slogan untuk menuntut semua pihak yang berperang agar mengakhiri lebih dari empat tahun konflik.

Betty Sunday, seorang perempuan pemimpin, mengatakan bahwa perempuan melalui kerja sama dengan kelompok masyarakat sipil mendesak Presiden Salva Kiir, pemimpin pemberontak Riek Machar, dan pihak lain dalam proses perdamaian yang berlangsung di Sudan dan Uganda. Hal itu agar mewujudkan penyelesaian yang langgeng dan akan mengakhiri penderitaan rakyat di negeri tersebut.

"Kami menyeru semua pihak yang berperang agar mendengarkan suara perempuan, anak-anak dan orang tua yang terus memikul beban konflik dan menandatangani perdamaian," kata Betty Sunday.

Wanita itu menyeru Kiir dan Macahr agar merakit kesempatan baik tersebut yang disediakan dalam penengahan pimpinan Lembaga Antar-Pemerintah mengenai Pembangunan (IGAD) untuk mengakhiri konflik, yang memporak-porandakan negeri itu. "Saya mendesak para pemimpin kami agar berkompromi dalam kepentingan politik mereka dan menandatangani kesepakatan perdamaian bulan ini guna mewujudkan perdamaian yang langgeng bagi negeri ini," kata wanita tersebut.

Mary Justo Tombe, petugas penerangan di Forum Perempuan Bulanan, mengatakan  perempuan, anak-anak dan orang tua dan orang cacat tak bisa menerima untuk terus menanggung beban dan akibat dari konflik. "Kami menuntut semua pihak dalam konflik agar memiliki keinginan politik dan sepenuhnya melaksanakan kesepakatan gencatan senjata sebagai cara memulihkan perdamaian yang langgeng di negeir ini," kata Tombe.

Para pegiat mengatakan kegiatan itu yang diselenggarakan untuk mengirim pesan jelas kepada semua pihak yang berperang dalam pembicaraan perdamaian untuk menghormati keinginan rakyat di atas kepentingan pribadi dan partai.

Wanita tersebut menyeru IGAD dan masyarakat internasional untuk melakukan tekanan sekuat mungkin agar semua pihak yang berunding dalam pembicaraan itu mau menandatangani kesepakatan perdamaian. Tekanan itu juga harus membuat mereka bertanggung-jawab bagi pelaksanaan kesepakatan perdamaian tersebut.

Pekan lalu, semua pihak yang berperang di Sudan Selatan menandatangani pengaturan keamanan peralihan di Ibu Kota Sudan, Khartoum, untuk melicinkan jalan bagi pelaksanaan mulus sektor keamanan selama masa peralihan. Konflik Sudan Selatan, yang sekarang memasuki tahun kelima sejak konflik itu, meletus pada 2013 setelah pasukan yang setia kepada Kiir dan mantan wakilnya, Machar, terlibat pertempuran.

Kesepakatan perdamaian 2015 guna mengakhiri kerusuhan kembali dilanggar pada Juli 2016, ketika pihak yang bertikai melanjutkan pertempuran di Juba, ibu kota negeri tersebut. Hal itu memaksa Machar melarikan diri dan hidup di pengasingan.

Jutaan warga sipil Sudan Selatan telah mengungsi ke negara tetangga saat konflik berkecamuk terus kendati ada upaya masyarakat internasional untuk mengakhirinya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement