Jumat 14 Apr 2017 20:04 WIB

AS  Jatuhkan Bom Non-Nuklir Terbesar di Afghanistan

Rep: Puti Almas/ Red: Nidia Zuraya
Pesawat Pembom jenis B-1 Milik AS.
Foto: US Air Force, Staff Sgt Bennie J Davis III
Pesawat Pembom jenis B-1 Milik AS.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Komando Pusat Amerika Serikat (USCENTCOM) melaporkan bahwa pasukan negara itu telah menjatuhkan bom non-nuklir terbesar di Afghanistan, Jumat (14/4). Sasaran utama adalah sebuah bunker dan sejumlah terowongan yang digunakan oleh kelompok ISIS. 

AS menjatuhkan bom non-nuklir terbesar sepanjang pertempuran yang dilakukan oleh negara adidaya itu dalam pertempuran di wilayah timur Afghanistan. Bom dengan jenis GPU-43 dijatuhkan tepatnya di distrik Achin, Provinsi Nangarhar, dekat perbatasan Pakistan. 

GPI-43 disebut induk dari seluruh bom yang dimiliki AS. Bom yang pertama kali diuji coba pada Maret 2003 lalu itu memiliki berat hinga 9,7 kilogram dan dilengkapi dengan mesiu. 

USCENTCOM mengatakan serangan itu dirancang untuk meminimalkan resiko bagi pasukan AS dan Afghanistan yang melakukan operasi keamanan di salah satu negara Timur Tengah itu. Meski demikian, bom yang memiliki kemampuan ledak sama dengan 11 ton TNT itu berpotensi menimbulkan banyak korban dari kalangan warga sipil. 

Hal ini karena radius ledakan diperkirakan berpengaruh hingga 1,6 kilometer. Pasca serangan bom non-nuklir yang diluncurkan AS, dilaporkan setidaknya ada 36 anggota ISIS yang tewas. 

"Sebagai hasil dari serangan bom di daerah kunci ISIS, yang berupa persembunyian dan terowongan 36 anggota kelompok militan itu tewas," ujar pernyataan Kementerian Pertahanan Afghanistan, dilansir Aljazeera, Jumat (14/4). 

Meski demikian, Kementerian Pertahanan Afghanistan tidak mengkonfirmasi jumlah warga sipil yang mungkin menjadi korban. Laporan dari Gubernur Nagharhar, Esmail Shinwari mengatakan ledakan bom terdengar begitu kencang dan kobaran api terlihat sangat besar.

"Ledakan itu yang terbesar yang pernah saya dengar dan api menjulang sangat tinggi membakar banyak wilayah provinsi ini," jelas Shinwari. 

Menurut keterangan, saat ini banyak warga sipil di wilayah-wilayah sekitar lokasi ledakan yang meninggalkan rumah mereka. Banyak kekhawatiran serangan lebih lanjut terjadi, termasuk kemungkinan serangan balasan dari ISIS. 

Seorang sumber dari kelompok oposisi Afghanistan mengatakan saat ini masih ada sekitar 800 hingga 1.000 anggota ISIS yang bersembunyi di area sekitar serangan. Mereka berada di tempat-tempat khusus yang telah dibuat untuk perlindungan. 

ISIS untuk pertama kali memulai kegiatan teroris kelompok mereka di Afghanistan pada 2015 lalu. Wilayah yang digunakan sebagai basis di negara itu adalah Provinsi Khoarasan.  

Sementara itu, Gedung Putih tidak memberi konfirmasi apakah Presiden AS Donald Trump telah menyetujui penggunaan bom. Namun, ia sebelumnya pernah mengatakan untuk memberi wewenang kepada pasukan militer negaranya. 

"Semua orang tahu persis apa yang terjadi militer AS adalah yang terbesar di dunia dan mereka telah melakukan pekerjaan mereka seperti biasa, jadi wewenang secara otomatis saya berikan," ujar Trump. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement