Senin 07 Jan 2019 13:57 WIB

Di TV Amerika, Al-Sisi Akui Mesir Kerja Sama dengan Israel

Pemerintah Mesir sempat meminta CBS tidak menyiarkan wawancara dengan El-Sisi.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Presiden Mesir Abdel Fatah Al Sisi.
Foto: Welt.de
Presiden Mesir Abdel Fatah Al Sisi.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Stasiun televisi AS, CBS, telah menayangkan hasil wawancaranya dengan Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi dalam program 60 Minutes, pada Ahad (6/1). Penayangan tetap dilakukan meskipun ada permintaan dari Pemerintah Mesir untuk tidak menyiarkan wawancara tersebut.

Dalam wawancara itu, Sisi mengatakan kepada pembawa acara program, Scott Pelly, bahwa negaranya telah terlibat dalam kerja sama militer dengan Israel di Sinai. Dia membantah adanya penahanan tahanan politik di Mesir.

Sebelum wawancara tersebut ditayangkan, CBS mengatakan informasi yang diberikan oleh Sisi bukan jenis berita yang ingin disiarkan oleh pemerintah. "Tim 60 Minutes dihubungi oleh duta besar Mesir tak lama setelah itu dan mengatakan bahwa wawancara tidak dapat ditayangkan," kata CBS, tanpa menyebutkan bagian mana dari komentar Sisi yang tak ingin diungkap.

Di bawah pemerintahan Sisi, Mesir telah diam-diam bekerja sama dengan Israel dalam pengamanan di Sinai. Semenanjung gurun itu didemiliterisasi sebagai bagian dari perjanjian perdamaian 1979 yang disponsori AS antara kedua negara, tetapi pasukan Mesir sekarang di sana beroperasi secara bebas.

Pengakuan Sisi terkait kerja sama militer dengan Israel dianggap sebagai topik sensitif dan dapat merusak Mesir. Militer Mesir tahun lalu membantah laporan media bahwa mereka telah bekerja sama dengan Israel dalam melawan militan di Sinai utara. 

"Itu benar. Angkatan Udara kadang-kadang perlu menyeberang ke wilayah Israel. Dan itulah mengapa kami melakukan berbagai koordinasi dengan Israel," ujar Sisi.

Ketika ditanya mengapa dia tidak berhasil mengalahkan sekitar 1.000 teroris setelah menerima dana bantuan 1 miliar dolar AS, Sisi menanggapinya dengan menunjuk pada tantangan yang sama yang dihadapi Washington di Afghanistan dalam melawan Taliban.

"Mengapa AS belum melenyapkan para teroris di Afghanistan setelah 17 tahun dan telah menghabiskan satu triliun dolar?" kata Sisi yang balik bertanya.

Sisi juga ditanyai tentang pembantaian lebih dari 800 pendukung Ikhwanul Muslimin di Lapangan Rabaa al-Adawiya pada 2013 dan apakah dia telah memberikan perintah atas pembantaian tersebut. Saat itu, dia masih menjabat sebagai menteri pertahanan Mesir.

"Izinkan saya mengajukan pertanyaan kepada Anda. Apakah Anda mengikuti dengan saksama situasi di Mesir? Dari mana Anda mendapatkan informasi itu? Ada ribuan orang bersenjata selama lebih dari 40 hari. Kami mencoba segala cara damai untuk membubarkan mereka," kata Sisi memaparkan.

Pelly kemudian bertanya apakah tanggapan dari pasukan keamanan perlu dilakukan untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di Mesir. Ia mengutip laporan Human Rights Watch tentang peristiwa Rabaa yang mengatakan bahwa Mesir menggunakan kendaraan lapis baja, buldoser, pasukan darat, penembak jitu, polisi, dan personel tentara untuk menyerang demonstran dan ratusan orang telah tewas oleh peluru di kepala, leher dan dada mereka.

"Ada personel polisi dan mereka berusaha membuka koridor yang damai agar orang-orang pergi dengan selamat ke rumah mereka," kata Sisi.

Sisi juga menolak laporan dari organisasi HAM internasional itu yang memperkirakan Mesir telah memenjarakan sebanyak 60 ribu aktivis politik.

"Saya tidak tahu dari mana mereka mendapatkan angka itu. Saya bilang tidak ada tahanan politik di Mesir," ungkap Sisi, yang wajahnya berkilau karena berkeringat.

"Setiap kali ada minoritas yang mencoba memaksakan ideologi ekstremis mereka ... kami harus campur tangan terlepas dari berapa jumlah mereka," kata dia.

Jurnalis Aljazirah, Mahmoud Hussein, ditangkap pada Desember 2016 ketika dia kembali ke rumah untuk mengunjungi keluarganya. Hussein telah ditahan di penjara Mesir tanpa dakwaan selama 745 hari.

Penahanan itu adalah bagian dari tindakan keras besar-besaran terhadap perbedaan pendapat yang mencakup kontrol ketat media. Kebijakan itu membalikkan sebagian besar kebebasan yang diperoleh dalam pemberontakan pada 2011 terhadap otokrat Hosni Mubarak.

"Dia tampil tidak nyaman, berkeringat, dan juga, tentu saja, jawabannya - sepenuhnya menolak segala sesuatu yang telah didokumentasikan ... oleh begitu banyak kelompok hak asasi manusia di Mesir dan di luar Mesir," kata Khaled Elgindy dari Center for Middle East Policy di Brookings Institution, mengomentari wawancara Sisi kepada Aljazirah.

"Tidak ada nuansa sama sekali dalam tanggapannya, yang sangat mutlak, seperti 'sama sekali tidak ada tahanan politik', yang sama sekali tidak dapat dipercaya," kata dia.

Elgindy mengatakan itu cukup mengejutkan Sisi yang tidak suka diwawancara TV, telah setuju untuk berbicara dengan CBS. Menurut dia, cukup mengejutkan juga bagaimana pejabat Mesir meminta CBS untuk tidak menayangkan wawancara tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement