Kamis 08 Aug 2019 08:48 WIB

PBB Prihatin Penahanan Sewenang-wenang di Kashmir

Protes sporadis mulai muncul di Kashmir.

Tentara paramiliter India berpatroli saat jam malam di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Rabu (7/8).
Foto: AP Photo/Dar Yasin
Tentara paramiliter India berpatroli saat jam malam di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Rabu (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAMMU DAN KASMIR -- PBB mendesak Pakistan dan India menahan diri. PBB mengaku sangat prihatin atas jam malam yang diberlakukan di Kashmir. Selain itu, PBB juga prihatin atas keamanan besar-besaran, pembatasan telekomunikasi, serta penahanan sewenang-wenang terhadap pemimpin politik di Kashmir. Hingga Rabu (7/8), Pemerintah India masih menghentikan sebagian besar layanan komunikasi, termasuk internet, telepon seluler (ponsel), dan telepon rumah.

"Apa yang kita saksikan di Kashmir (yang dikelola India) merupakan sebuah pola baru. Kami sangat prihatin bahwa pembatasan itu akan memperburuk situasi HAM di sana," ujar juru bicara HAM untuk PBB, Rupert Colville, seperti dilansir Aljazirah, Rabu (7/8).

Sementara itu, Stephane Dujarric, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, menolak mengomentari apakah langkah India melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Ia mengulangi pertanyaan sehari sebelumnya bahwa Sekjen PBB Antonio Guterres terus memantau perkembangan di kawasan.

"Kami telah menyampaikan pandangan kami dan kami telah mengatakan dengan amat jelas bahwa kami terus mengikuti perkembangan di kawasan dengan penuh keprihatinan. Sikap Sekjen PBB pada saat ini adalah mendesak seluruh pihak untuk menahan diri," kata Dujarric, Selasa (6/8), di New York, yang dikutip India Today.

Pemerintah India pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi mencabut status istimewa Negara Bagian Jammu dan Kashmir pada Senin (5/8). Pencabutan ini membatalkan Pasal 370 Konstitusi India. Modi beralasan, pencabutan status istimewa Kashmir bertujuan menyatukan daerah itu sepenuhnya dengan India.

Pada Selasa, India kemudian menurunkan status Jammu dan Kashmir menjadi dua wilayah Union territory atau UT, yaitu Jammu dan Kashmir serta Ladakh. Status union territory membuat kedua wilayah dipimpin pemerintah pusat langsung.

Ladakh, wilayah yang dikenal sebagai kantong populasi umat Buddha di India, menyambut keputusan Modi kali ini. Namun, langkah Modi ditentang Cina yang juga mengklaim sebagian wilayah Ladakh yang mempertemukan antara India dan Cina.

Sementara itu, protes sporadis mulai muncul di Kashmir. Namun, protes ini dipadamkan karena pasukan keamanan yang menjaga ketat.

Sejak India merdeka dari Inggris pada 1947, Kashmir terpecah menjadi dua per tiga untuk India dan sisanya masuk Pakistan. Keduanya dipisahkan oleh garis yang disebut //line of control// (LoC).

Perebutan wilayah antara India dan Pakistan menjadikan Kashmir wilayah yang paling dimiliterisasi di dunia dalam 70 tahun terakhir. Dua dari tiga perang antara India dan Pakistan dipicu oleh isu Kashmir dan menewaskan sekitar 70 ribu orang. India kerap menuding Pakistan menghasut dan mejadi sumber instabilitas di Kashmir maupun India.

Pada Rabu, Pakistan menyatakan akan menurunkan status hubungan diplomatiknya dengan India dan menangguhkan hubungan dagang kedua negara.

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyatakan keprihatinan mendalam atas perkembangan di Jammu dan Kashmir. Sekretaris Jenderal OKI Yousef bin Ahmed al-Othaimeen menegaskan dukungan penuh OKI kepada masyarakat Jammu dan Kashmir untuk mendapatkan hak-hak mereka. OKI menggelar pertemuan darurat Contact Group on Jammu and Kashmir di Jeddah.

Menurut para ahli, keputusan Pemerintah India membagi Negara Bagian Jammu dan Kashmir menjadi dua wilayah persatuan akan mengarah pada transformasi besar dari lanskap sosial-ekonomi di wilayah Himalaya yang berpenduduk mayoritas Muslim itu.

Para kritikus juga menyamakan usulan Kashmir dengan status union territory ke Tepi Barat atau Tibet dengan pemukim (bersenjata atau sipil) yang tinggal di kompleks yang dijaga di antara penduduk setempat yang kehilangan haknya. "Keputusan (untuk membagi wilayah) akan mengurangi Kashmir menjadi koloni," ujar pakar konstitusi AG Noorani

Noorani dikenal sebagai penulis Kashmir. Karnya termasuk buku Article 370: A Constitutional History of Jammu and Kashmir tahun 2011. Menurut Noorani, menurunkan Kashmir menjadi union territory akan memecah Kashmir dari seantero negeri dan orang Kashmir akan menentang hadirnya nuansa Hindu di wilayah tersebut. n fergi nadira/rizky jaramaya/reuters/ap ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement