Selasa 24 Dec 2019 22:38 WIB

Ikut Protes, Mahasiswa Jerman Diusir dari India

Demonstrasi melanggar ketentuan peraturan visa pelajar.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Dwi Murdaningsih
Grafiti terpampang di tembok di kampus Jamia Millia Islamia University, New Delhi, India. Mahasiswa menjadikan kampus sebagai media protes mereka setelah sebelumnya polisi merangsek ke dalam kampus membubarkan unjukrasa.
Foto: Altaf Qadri/AP
Grafiti terpampang di tembok di kampus Jamia Millia Islamia University, New Delhi, India. Mahasiswa menjadikan kampus sebagai media protes mereka setelah sebelumnya polisi merangsek ke dalam kampus membubarkan unjukrasa.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Seorang pelajar Jerman pada program pertukaran pelajar ke India diminta untuk pergi, Selasa (23/12). Desakan meninggalkan India terjadi setelah dia berpartisipasi dalam protes terhadap undang-undang kewarganegaraan yang kontroversial.

"Jakob Lindenthal pergi semalam setelah pembicaraan dengan pejabat imigrasi," kata dekan studi internasional di Institut Teknologi India (IIT) yang berbasis di Chennai Mahesh Panchagnula, dikutip dari Aljazirah.

Panchagnula menjelaskan, pengusiran pelajar Jerman terjadi ketika dia tertangkap kamera dan masuk dalam surat kabar Chennai dan media sosial memegang poster pada protes Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan. "Saya tidak tahu apa yang sebenarnya dikatakan dalam percakapan dengan pejabat," katanya.

Lindenthal merupakan seorang mahasiswa dari Universitas Teknik Dresden di Jerman. Dia mengikuti program pertukaran pelajar selama dua semester di IIT dan masih memiliki satu semester tersisa untuk mengakhiri masa pertukaran.

Laporan dari  media lokal mengatakan, pria asal Jerman itu tidak tahu kalau protes yang dia ikuti adalah ilegal. Padahal, dengan melibatkan diri dalam protes itu, dia telah melanggar ketentuan peraturan visa pelajar.

Gambar-gambar di surat kabar dan media sosial menunjukkan Lindenthal memegang poster yang bertuliskan "1933-1945: Kami telah berada di sana" dan "Demokrasi tanpa Perbedaan". Dia ikut dalam protes yang menggugat pemerintah India mensahkan peraturan yang mendiskriminasikan Muslim.

"Petugas imigrasi bertanya kepada saya apakah saya berpartisipasi dalam protes sebagai bagian dari diskusi, dan ketika saya mengakui fakta itu, dia meminta saya untuk meninggalkan ruangan. Dalam beberapa menit, saya diminta untuk meninggalkan negara itu," kata Lindenthal kepada koran Deccan Herald.

Petugas imigrasi di Chennai meminta Lindenthal untuk pergi ketika dia melanggar persyaratan visanya. "Tautan yang dia gambar di poster-posternya ke Jerman Nazi dan apa yang terjadi di sini bisa menjadi alasan untuk memintanya pergi," kata seorang mahasiswa di IIT-Chennai.

Sargam Sharma aktivis yang sering menyuarakan protes mengecam keputusan pemerintah untuk mengirim Lindenthal kembali. "Fakta bahwa seorang siswa internasional dari Jerman membuat asosiasi ini dengan pengalamannya sendiri tinggal di negara yang menghadapi fasisme menunjukkan betapa tidak memedulikan pemerintah ini," kata Sharma.

Sementara itu, ribuan pengunjuk rasa di seluruh India terus berdemonstrasi menentang undang-undang baru di ibukota New Delhi dan tempat-tempat lain. Laporan Aljazirah menyatakan, orang-orang memberikan tekanan maksimum pada pemerintah dengan terus turun ke jalan.

Protes menentang penerapan undang-undang kontroversi telah dilakukan selama dua pekan di New Delhi. Polisi pun telah menerapkan larangan pertemuan di tempat umum, hanya saja, orang-orang masih berdatangan.

Sedangkan pemerintah India pun masih memegang teguh dengan peraturan yang disahkan pada pekan lalu itu.  Bahkan, Partai Perdana Menteri India Narendra Modi, Bharatiya Janata Party (BJP) mengerahkan para pendukung dan simpatisannya menghadiri rapat umum di New Delhi, Ahad (22/12) untuk menunjukan dukungan pada peraturan itu.

"Saya harus meyakinkan warga Muslim India bahwa UU ini tidak akan mengubah apa pun untuk mereka," ujar Modi.

Pada bulan Januari, Mahkamah Agung India akan mendengarkan hampir 60 petisi. Petisi tersebut diajukan oleh partai-partai oposisi, kelompok-kelompok Muslim dan aktivis yang menantang keabsahan konstitusional undang-undang baru tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement