Senin 13 Jan 2020 02:56 WIB

Tantangan Tsai Setelah Pemilu Taiwan

Tsai Ing-wen kembali terpilih sebagai presiden Taiwan dengan menoreh 57 persen suara.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Dwi Murdaningsih
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.
Foto: AP Photo/Chiang Ying-ying
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.

REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Pemilihan Umum (Pemilu) Taiwan telah terlaksana dengan baik, Sabtu (11/1) waktu setempat. Presiden Tsai Ing-wen kembali terpilih sebagai presiden Taiwan dengan menoreh 57 persen suara.

Angka tersebut merupakan angka tertinggi sepanjang masa. Pasalnya, hampir tiga dari empat pemilih yang memiliki 19 juta pemilih telah menggunakan hak suaranya. "Saya berharap semua warga dapat keluar dan memilih, Anda harus menjalankan hak Anda untuk membuat demokrasi lebih kuat lagi di Taiwan," kata Tsai usai mencoblos kemarin.

Baca Juga

Partai Progresif Demokratik (DPP) Tsai berhasil mempertahankan mayoritas di legislatif 113 kursi. Hal itu pun memberikan Tsai kebebasan untuk mendorong agendanya dalam masa jabatan empat tahun terakhirnya mulai 20 Mei.

Politik pemilu di Taiwan memang telah lama bergema di perairan sempit yang mungkin merupakan salah satu pemisah ideologi dan politik terbesar di dunia. Bagi sebagian besar pengamat baik di Taiwan maupun luar negeri, hasil pemilu ini sama seperti yang diperkirakan. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo pun memuji pemilu tersebut sebagai bukti bahwa Taiwan adalah kekuatan untuk kebaikan.

Meski demikian, Beijing mengganggapnya sebagai kekecewaan. Media berita pemerintah menyalahkan kekuatan politik anti-Cina untuk pemilihan ulang Tsai. Mereka menyebut kemenangannya sebagai ancaman bagi perkembangan damai hubungan lintas-selat.

Tsai kini memiliki tantangan ke depan untuk menghadapi Cina. Sejak kaum Nasionalis kalah perang saudara dengan Komunis pada tahun 1949 dan mundur ke Taiwan sebagai Republik Cina, Beijing menganggap pulau itu sebagai provinsi pemberontak.

Sejak itu, Taiwan sudah membangun diidentitas mereka sendiri terlepas dari Cina selama perang saudara tahun 1949. Tapi tidak pernah mendeklarasikan kemerdekaan resmi.

Beijing masih mengklaim Taiwan sebagai daerah kedaulatan mereka. Mereka mengancam akan menggunakan paksaan untuk merebut kembali pulau berpopulasi 23 juta itu jika diperlukan.

 

Selama bertahun-tahun kaum nasionalis yang bersahabat dengan Cina menjadi lebih dilihat sebagai Komunis di Taiwan.  Setelah Tsai pertama kali terpilih pada 2016, Cina mulai menekan Taiwan. Turis-turis Cina daratan dilarang bepergian melintasi selat, dan sekutu diplomatiknya ditekan untuk mengalihkan kesetiaan dari Taiwan ke Republik Rakyat Cina. Tsai menyebutnya 'diplomasi dolar'.

Hampir setahun yang lalu dalam pidato Tahun Baru kepada Taiwan, Presiden Cina Xi Jinping mengungkap rencananya untuk memperkenalkan 'satu negara, dua sistem' untuk pulau itu. Ia mencontoh kerangka kerja kolonial Inggris Hong Kong dikembalikan ke kedaulatan Cina pada tahun 1997.

Proklamasi Xi membantu mengubah dinamika pemilu, dan menempatkan fokus pada kelangsungan hidup rakyat Taiwan. "Ini sangat nyata, karena desain Beijing untuk Taiwan sangat jelas," ujar seorang veteran pengamat Cina yang berbasis di Hong Kong  Ching Cheong, seperti dilansir laman Aljazirah, Ahad (12/1).

"Namun, Tsai secara persuasif menggunakan Hong Kong dalam kampanyenya, memberi tahu para pemilihnya demokrasi Taiwan adalah apa yang diperjuangkan oleh para pemrotes Hong Kong," ujarnya menambahkan.

Bagi banyak warga Taiwan, unjuk rasa antipemerintah di Hong Kong yang berlangsung selama berbulan-bulan telah menunjukkan kontradiksi antara pemerintahan mereka yang demokratis dan pemerintah otoriter di Cina Daratan. Tsai memainkan peran pemilihan ini menjadi kesempatan melindungi demokrasi Taiwan.

Pemilihan ini mewakili penolakan tegas terhadap "satu negara, dua sistem", bahkan oleh saingan utama Tsai, Han Kuo-yu dari Partai Nasionalis, Kuomintang. Kampanye Han keras seperti mendukung Beijing. Namun, Han kalah telak di markasnya sendiri, Kaohsiung, di mana ia terpilih sebagai wali kota pada akhir 2018.

Pemilu Taiwan dimulai pada tahun 1996. Kediktatoran terukir dalam kenangan hidup sebagian besar pemilih dengan darurat militer di bawah kaum nasionalis yang berkahir hanya pada tahun 1987.

Melonggarnya cengkeraman kaum Nasionalis telah membuka jalan bagi berkembangnya budaya politik yang dinamis dan berkembang dengan hampir 300 pihak mulai dari usia tua, sampai Youtubers. Hampir 20 partai memperebutkan pemilihan ini.

Pemilihan umum bersifat bombastis dan kerap ribut. Para kandidat menggelar aksi unjuk rasa untuk membangun semangat massa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement