Jumat 12 Feb 2021 14:38 WIB

Etnis Minoritas Myanmar Ikut Protes Terhadap Kudeta

Junta militer kerap menindas etnis minoritas selama bertahun-tahun.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Gilang Akbar Prambadi
 Demonstran berbaris selama protes terhadap kudeta militer baru-baru ini di Yangon, Myanmar, Kamis (11/2).
Foto:

Ada juga laporan tentang petugas polisi dari kelompok etnis Kayah mempertaruhkan pekerjaannya untuk memprotes pengambilalihan tersebut. Dalam sebuah video yang direkam Rabu (10/2) di sebuah desa kecil di negara bagian Kayah timur, 42 petugas polisi terlihat berdiri bersama untuk menyatakan dukungan kepada para pengunjuk rasa. 

Para petugas ini menolak permohonan dari seorang perwira senior untuk kembali bertugas. Warga berduyun-duyun ke tempat kejadian untuk melindungi petugas pemberontak dari penangkapan.

Sedangkan di Negara Bagian Shan bagian timur Myanmar, rumah bagi kelompok etnis minoritas terbesar di negara itu, sejumlah kapal kayu panjang yang digunakan untuk memancing dan transportasi di Danau Inle digunakan untuk mengadakan protes. Dengan penumpang memegang plakat mengecam kudeta dan menyerukan keadilan. 

Beberapa pengunjuk rasa memegang pesan secara memanjang ke dayung, termasuk "Hormati Suara Kami" dan "Katakan Tidak untuk Kudeta".

Militer merebut kekuasaan pada 1 Februari, menggulingkan pemimpin Suu Kyi dan mencegah anggota parlemen yang terpilih untuk membuka sesi baru Parlemen. Peristiwa ini pembalikan yang mengejutkan setelah sekitar satu dekade kemajuan menuju demokrasi di Myanmar. 

Junta mengatakan, pihaknya dipaksa turun tangan karena pemerintah Suu Kyi gagal menyelidiki tuduhan penipuan dalam pemilihan baru-baru ini. Padahal komisi pemilihan mengatakan tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.

Penentangan terhadap kudeta pun mendapat dorongan besar dari luar negeri, termasuk dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Dia memerintahkan sanksi baru dan menjanjikan lebih banyak tindakan akan datang. 

 

Biden menuntut kekuasaan junta kembali ke pemerintah terpilih. Langkah ini pun menjadi tren yang berkembang, karena semakin banyak pemerintah global yang mempertimbangkan sanksi terhadap militer Myanmar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement