Kamis 11 Mar 2021 14:11 WIB

Polisi Myanmar Mengaku Diperintahkan Bunuh Pengunjuk Rasa

Polisi Myanmar diperintahkan untuk menembak pengunjuk rasa hingga mati

Rep: Lintar Satria / Red: Nur Aini
Para pengunjuk rasa di jalan utama Mandalay, Myanmar, Minggu, 7 Maret 2021. Aksi kekerasan di Myanmar meningkat ketika pihak berwenang menindak protes terhadap kudeta 1 Februari lalu.
Foto:

Tha Peng, salah satu dari banyak polisi Myanmar yang membelot setelah menolak mematuhi perintah pasukan keamanan pemerintah militer. Pengunjuk rasa anti-kudeta menggelar protes harian di seluruh negeri dan pasukan keamanan menindaknya dengan keras.

Sejak gelombang unjuk rasa dimulai, sudah 60 orang pengunjuk rasa tewas di tangan polisi. Organisasi advokasi tahanan politik Assistance Association for Political Prisoners sejauh ini pihak berwenang Myanmar sudah menangkap hampir 2.000 orang.

Salah seorang pejabat India mengatakan sudah hampir 100 orang Myanmar yang menyeberang ke negara tetangganya tersebut. Sebagian besar adalah polisi dan keluarga mereka. Beberapa di antaranya sudah dibawa ke tempat tinggal sementara di distrik Champhai, tempat tiga orang warga Myanmar di wawancara.

Selain menunjukkan tanda pengenalnya sebagai polisi, Tha Peng juga memperlihat foto ia memakai seragam polisi. Ia mengaku bergabung dengan kesatuan sembilan tahun yang lalu.

Tha Peng mengatakan berdasarkan peraturan kepolisian Myanmar, pengunjuk rasa hanya boleh dihentikan dengan peluru karet atau peluru tajam yang diarahkan dari lutut ke bawah. Tapi diperintahkan untuk menembak pengunjuk rasa 'hingga mereka mati'.

Ngun Hlei yang mengaku polisi yang ditugaskan di Kota Mandalay juga diperintahkan untuk menembak. Ia tidak mengungkapkan kapan perintah itu diberikan atau bagaimana tepatnya perintah tersebut disampaikan. Ia tidak mengungkapkan apakah ada korban jiwa atau tidak.

Pria berusia 23 tahun itu juga hanya memberikan sebagian namanya dan membawa kartu identitasnya. Tha Peng dan Ngun Hlei mengatakan mereka yakin polisi bertindak berdasarkan perintah dari militer Myanmar. Keduanya tidak memberikan bukti atas pernyataan mereka.

Berdasarkan dokumen rahasia kepolisian Mizoram empat polisi Myanmar sepakat dengan pernyataan Tha Peng dan Ngun Hlei. "Personel militer menekan pasukan polisi yang paling sering berhadapan dengan rakyat," kata mereka.

Ngun Hlei mengatakan ia ditegur karena tidak mematuhi perintah dan dipindahkan. Ia meminta bantuan dari aktivis pro-demokrasi melalui internet dan pergi ke desa Vaphai di Mizoram pada 6 Maret lalu. Ngun Hlei mengatakan ia menghabiskan 200 ribu kyat Myanmar dalam perjalanannya menuju India.

Walaupun dijaga pasukan paramiliter India tapi perbatasan India-Myanmar memiliki 'rezim yang membuat orang bergerak bebas', memungkinkan warga Myanmar menjelajah beberapa mil ke India tanpa izin masuk.

Dal yang berusia 24 tahun mengaku bekerja sebagai polisi di kota Falam yang terletak di barat laut Myanmar. Reuters melihat foto tanda pengenal polisinya dan memverifikasi namanya.

Perempuan itu mengatakan sebagian besar pekerjaannya bersifat administratif seperti mencatat nama-nama orang yang ditahan polisi. Tapi saat gelombang unjuk rasa terjadi ia diperintahkan untuk menahan sejumlah pengunjuk rasa perempuan, ia mengatakan menolak perintah tersebut.

Takut dipenjara karena memihak pengunjuk rasa dan gerakan pembangkangan sipil. Ia memutuskan untuk melarikan diri dari Myanmar. Ketiganya mengatakan polisi mendukung pengunjuk rasa.

"Di kantor polisi, 90 persen mendukung pengunjuk rasa tapi tidak ada pemimpin yang menyatukan mereka," kata Tha Peng yang meninggalkan istri dan dua putrinya yang masih kecil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement