Selasa 11 May 2021 01:45 WIB

Dilema Perusahaan Telekomunikasi Asing di Myanmar

Telenor, salah satu operator di Myanmar alami kerugian sejak kudeta militer.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Dwi Murdaningsih
Demonstran menunjukkan salam tiga jari dalam aksi menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar pada 3 Mei 2021.
Foto:

Bagi Telenor, menjalankan bisnis di Myanmar memiliki tantangan, termasuk mencoba menghindari hubungan komersial dengan militer. Mantan CEO Baksaas mengatakan, selama beberapa minggu pertama setelah mulai beroperasi di Myanmar, staf harus duduk di lantai kantor karena Telenor menolak untuk membayar suap kepada petugas bea cukai untuk furnitur yang diimpor.

Baksaas juga mengatakan, mereka harus menavigasi risiko korupsi saat memperoleh tanah untuk membangun menara seluler. Kemudian ada urusan dengan militer, yang kepentingan ekonominya berkisar dari tanah hingga perusahaan yang terlibat dalam pertambangan dan perbankan.

Kelompok aktivis Justice for Myanmar mengatakan dalam laporan tahun 2020 bahwa, Telenor telah menunjukkan kegagalan yang mengkhawatirkan dalam uji tuntas hak asasi manusia atas kesepakatan yang dicapai pada 2015. Kesepakatan itu yaitu untuk membangun menara bergerak yang melibatkan kontraktor militer.

Laporan lain oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2019 mengatakan, Telenor menyewa kantor di gedung yang dibangun di atas tanah milik militer. Laporan itu mengatakan perusahaan-perusahaan di Myanmar harus mengakhiri semua hubungan dengan militer karena pelanggaran hak asasi manusia.

Seorang juru bicara Telenor mengatakan dalam email pada 9 April kepada Reuters bahwa, mereka telah membahas masalah kesepakatan 2015. Itu adalah satu-satunya pilihan yang layak, mengingat faktor keamanan.

"Telenor Myanmar telah difokuskan agar memiliki sedikit kontak dengan militer dan tidak memiliki hubungan langsung dengan entitas yang dikendalikan militer," kata juru bicara itu.

Sejak kudeta, Telenor memutuskan hubungan dengan tiga pemasok setelah menemukan hubungan dengan militer. Seperti operator lain, Telenor membayar biaya lisensi kepada pemerintah yang sekarang dikendalikan militer pada bulan Maret. Salah satu pemegang saham utama Telenor, KLP Norwegia mengatakan, pihaknya telah berdialog dengan Telenor setelah kudeta untuk memastikan mereka mengidentifikasi risiko hak asasi manusia.

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement