Kamis 20 May 2021 13:19 WIB

Ini Penjelasan Kemenlu Soal Vote

Indonesia voting 'no' untuk proses pembahasan R2P, bukan substansinya.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Sidang umum PBB (Ilustrasi)
Foto:

Pada 2017, Australia dan Ghana mengajukan permintaan agar dibentuk suatu agenda tambahan atau suplementary agenda item untuk membahas R2P. Namun, kedua negara tersebut hanya berjanji setahun.

Setelah dibahas pada 2009, dan berjalan setiap tahun, ada permintaan pada 2017 untuk membahas R2P sendiri di luar dari hasil World Summit.

"Kita merasa lebih baik dibahas dalam agenda yang sudah ada seperti sejak 2009, kita memberikan kemudahan dari 2017. Oleh karena adanya janji hanya setahun, tapi ternyata ini berujung pada permintaan agenda tersendiri ini," ujar Febrian.

Febrian menegaskan agar upaya pembahasan R2P jangan sampai mengubah konsep menjadi sesuatu yang bukan resolusi itu. Dia kembali menekankan posisi voting Indonesia jangan disalahartikan dengan konsep R2P.

"Memang, pada 2005, Indonesia mengikuti konsensus yang mengadopsi konsep R2P sebagaimana tertuang dalam Resolusi 60/1. Prinsip dan norma yang mendasari R2P tidak asing lagi bagi Indonesia, juga tidak terbatas hanya pada kelompok negara atau wilayah tertentu," ujarnya mengulangi.

Dalam pandangan Pemerintah RI, di dalam kerangka pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan bahwa yang disebut tiga pilar R2P itu cukup kokoh untuk menahan setiap serangan atau pelanggaran.

"Sekali lagi saya tekankan voting no ini bukan voting tentang pembahasan isu genosidanya, tapi hanya di mana pembahasan isu R2P ini ingin diagendakan tersendiri, sebab sudah ada," katanya.

Febrian memerinci bahwa Sidang Majelis Umum PBB pada Selasa (18/5) membahas laporan rutin tahunan Sekjen PBB dan pembentukan mata agenda tahunan yang baru terkait Responsibility to Protect. Kemudian, keputusan pembahasan tersebut melalui pemungutan suara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement