Sebuah jaringan kamera televisi sirkuit tertutup juga telah dipasang di kota Palestina untuk memantau penduduk secara real-time. Salah satu mantan tentara mengatakan, program pengenalan wajah tersebut merupakan bentuk pelanggaran privasi.
“Saya tidak akan merasa nyaman jika mereka menggunakannya di mal di (kampung halaman saya), anggap saja seperti itu. Orang-orang khawatir tentang sidik jari, tapi ini sudah terjadi beberapa kali," kata tentara yang bertugas di unit intelijen itu.
Seorang penduduk Hebron dan aktivis, Issa Amro, mengatakan, kegiatan Israel diarahkan untuk membuat warga Palestina tidak merasa nyaman sehingga mereka meninggalkan kota. Hal ini memungkinkan pemukim Israel untuk pindah ke Hebron. “Kamera-kamera itu hanya memiliki satu mata untuk melihat orang-orang Palestina. Mulai dari saat Anda meninggalkan rumah hingga saat Anda tiba di rumah, Anda berada di depan kamera," ujar Amro.
Di Israel, sebuah proposal untuk memperkenalkan teknologi yang digunakan di ruang publik oleh penegak hukum telah menimbulkan reaksi. Seorang pengacara dari Asosiasi Hak Sipil di Israel, Roni Pelli, mengatakan, program pengenalan wajah merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak dasar.
Terlebih, program tersebut dijadikan sebagai ajang kompetisi untuk mengumpulkan foto wajah warga Palestina dari anak-anak hingga lansia.
Pelli mengatakan, militer Israel harus segera menghentikan program itu.
“Sementara negara-negara maju di seluruh dunia memberlakukan pembatasan pada pengenalan wajah, dan pengawasan. Situasi yang digambarkan (di Hebron) merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak dasar, seperti hak atas privasi, karena tentara diberi insentif untuk mengumpulkan sebanyak mungkin foto warga Palestina termasuk pria, wanita, dan anak-anak dalam semacam kompetisi,” ujar Pelli.