Kamis 13 Oct 2022 10:04 WIB

Rusia Prediksi Turki akan Kembali Jadi Mediator Konflik dengan Ukraina

Turki telah berhasil membuat Rusia-Ukraina menyepakati perjanjian koridor gandum.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
 Perwakilan dari kementerian pertahanan Rusia dan Ukraina menghadiri peluncuran Pusat Koordinasi Bersama di Istanbul, Turki, Rabu, 27 Juli 2022. Pemerintah Rusia memprediksi bahwa Turki akan kembali menawarkan peranan sebagai mediator untuk merumuskan resolusi konflik Ukraina.
Foto:

Jika nantinya akan ada pertemuan yang diagendakan, Ushakov memprediksi kegiatan itu bakal digelar di wilayah Turki, yakni antara Istanbul dan Ankara. Menurut Ushakov, Turki telah "cukup berhasil" bertindak sebagai mediator dalam masalah terkait Ukraina. Dalam hal ini, dia mengaitkan peran Ankara dalam tercapainya kesepakatan koridor gandum di Laut Hitam pada Juli lalu.

Ushakov menjelaskan, hingga saat ini hubungan antara Putin dan Erdogan terjalin baik. Salah satu faktor yang mendasari hal tersebut adalah karena Turki tidak bergabung dalam kampanye sanksi yang diterapkan Barat terhadap Moskow. “Fakta bahwa Turki mengambil sikap seperti itu memberikan dorongan tambahan untuk perluasan perdagangan dan kemitraan ekonomi,” katanya.

Pada 22 Juli lalu, Rusia dan Ukraina menandatangani kesepakatan koridor gandum di Istanbul. Perjanjian itu diteken di bawah pengawasan PBB dan Turki. Dengan perjanjian tersebut, Moskow memberi akses kepada Ukraina untuk mengekspor komoditas biji-bijiannya, termasuk gandum, dari pelabuhan-pelabuhan mereka di Laut Hitam yang kini berada di bawah kontrol pasukan Rusia. Itu menjadi kesepakatan paling signifikan yang dicapai sejak konflik Rusia-Ukraina pecah pada 24 Februari lalu.

Rusia dan Ukraina merupakan penghasil 25 persen produksi gandum dan biji-bijian dunia. Sejak konflik pecah Februari lalu, rantai pasokan gandum dari kedua negara itu terputus. Ukraina tak dapat melakukan pengiriman karena pelabuhan-pelabuhannya direbut dan dikuasai Rusia. Sementara Moskow tak bisa mengekspor karena adanya sanksi Barat. Hal itu sempat memicu kekhawatiran bahwa dunia bakal menghadapi krisis pangan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement