Ahad 13 Aug 2023 14:33 WIB

Pendeta Ortodoks Rusia Dikucilkan Usai Dukung Perdamaian Ukraina

Gereja Ortodoks Rusia memutuskan untuk memecat pendeeta Ioann Koval

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Gereja Ortodoks Rusia memutuskan untuk memecat Pendeta Ioann Koval usai dia memimpin doa untuk perdamaian di Ukraina.
Foto: AP
Gereja Ortodoks Rusia memutuskan untuk memecat Pendeta Ioann Koval usai dia memimpin doa untuk perdamaian di Ukraina.

REPUBLIKA.CO.ID, ANTALYA -- Berdiri di sebuah gereja Ortodoks tua di Antalya dengan Alkitab di satu tangan dan lilin di tangan lainnya, Pendeta Ioann Koval memimpin salah satu kebaktian pertamanya di Turki. Kehadirannya di tempat baru itu setelah kepemimpinan Gereja Ortodoks Rusia memutuskan untuk memecatnya usai dia memimpin doa untuk perdamaian di Ukraina.

September tahun lalu, ketika Presiden Vladimir Putin memerintahkan mobilisasi sebagian pasukan cadangan, Patriark Kirill Moskow meminta para pendetanya berdoa untuk kemenangan. Berdiri di depan altar dan puluhan umatnya di salah satu gereja Moskow, Koval memutuskan untuk menempatkan perdamaian di atas perintah patriark.

Baca Juga

“Dengan kata 'kemenangan', doa memperoleh makna propaganda, membentuk pemikiran yang benar di antara umat, di antara para pendeta, apa yang harus mereka pikirkan dan bagaimana mereka harus melihat permusuhan ini,” kata Koval.

“Itu bertentangan dengan hati nurani saya. Saya tidak bisa tunduk pada tekanan politik dari hierarki ini," ujarnya.

Dalam doa yang Koval ucapkan berkali-kali, pendeta berusia 45 tahun itu hanya mengubah satu kata, mengganti "kemenangan" dengan "damai". Namun itu cukup bagi pengadilan gereja untuk menghapus pangkat imamatnya.

Berdoa atau menyerukan perdamaian di depan umum juga menimbulkan risiko penuntutan dari pemerintah Rusia. Tidak lama setelah pasukan Rusia menginvasi Ukraina, anggota parlemen mengesahkan undang-undang yang memungkinkan penuntutan ribuan orang karena mendiskreditkan tentara Rusia. Ketetapan ini berlaku untuk menghukum pernyataan yang bertentangan dengan narasi resmi pemerintah, baik itu komentar jejaring sosial atau doa di gereja.

Profesor filologi di Vilnius University di Lithuania Andrey Desnitsky menyatakan, Kirill membangun hierarki yang keras di gereja yang menuntut kepatuhan total. Jika seorang imam menolak untuk membaca doa patriark, kesetiaannya dicurigai.

“Jika Anda tidak setia, maka tidak ada tempat bagi Anda di gereja,” ujar pakar senior di gereja Rusia.

Ketika perang dimulai, sebagian besar pendeta tetap diam, takut akan tekanan dari gereja dan otoritas negara. Hanya sebagian kecil yang angkat bicara.

Dari lebih dari 40 ribu pendeta di Gereja Ortodoks Rusia, hanya 300 pendeta yang menandatangani surat publik yang menyerukan perdamaian di Ukraina. Namun, menurut koordinator kelompok hak asasi manusia Christians Against War Natallia Vasilevich, setiap suara publik yang menentang perang sangat penting.

“Itu mematahkan apa yang tampaknya menjadi posisi monolitik Gereja Ortodoks Rusia,” kata Vasilevich.

Sejak awal perang, 30 pendeta Ortodoks menghadapi tekanan....

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement