Jumat 23 Feb 2018 20:03 WIB

PBB: Perwira Militer Sudan Selatan Lakukan Kejahatan Perang

Lebih dari 40 perwira militer Sudan Selatan mungkin bertanggung jawab.

Rep: Marniati/ Red: Ani Nursalikah
Tentara Sudan Selatan
Foto: Jerome Delay/AP
Tentara Sudan Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Penyidik PBB mengatakan pada Jumat (23/2) mereka telah mengidentifikasi lebih dari 40 perwira militer Sudan Selatan yang mungkin bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sudan Selatan yang kaya minyak memperoleh kemerdekaan dari negara tetangga Sudan pada 2011. Namun negara tersebut dilanda perang sipil pada Desember 2013.

Penyelidik dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Sudan Selatan mengatakan temuan mereka didasarkan pada wawancara dengan ratusan saksi, citra satelit dan hampir 60 ribu dokumen yang berkaitan dengan perang di wilayah tersebut. Laporan mereka, menyebutkan tanggung jawab komando individual untuk serangan yang meluas atau sistematis terhadap warga sipil oleh perwira militer senior, termasuk delapan jenderal letnan, dan tiga gubernur negara bagian.

Laporan PBB menjelaskan rincian kekejaman militer terhadap warga sipil. Dikatakan bahwa kekerasan tersebut terjadi selama lima pertempuran besar antara pasukan pemerintah dan pemberontak pada 2016 dan 2017.

Laporan tersebut berisi kesaksian dari seorang ibu yang menyaksikan anaknya dipaksa memperkosa neneknya sementara keluarganya disandera, dan seorang wanita berusia 85 tahun yang mengatakan dia diperkosa oleh salah satu kelompok sebelum menyaksikan eksekusi suami dan anaknya.

Ini juga mendokumentasikan pola penganiayaan etnis yang jelas. Sebagian besar oleh pasukan pemerintah yang harus diadili atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Konflik tersebut telah mengadu domba komunitas etnis Dinka milik Presiden Salva Kiir Mayardit melawan pemberontak Nuer di bawah mantan deputi Riek Machar.

Seorang juru bicara pemerintah mengatakan mereka bersedia menahan pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan apa pun. "Pemerintah akan mengadili siapapun yang bertanggung jawab atas kejahatan apapun. Ini adalah pemerintah yang bertanggung jawab," kata juru bicara urusan luar negeri Mawien Makol kepada Reuters.

Sejauh ini, hanya ada sedikit tuntutan terhadap pejabat militer atau pemerintah Sudan Selatan yang melakukan kejahatan terhadap warga sipil. Hasil dari temuan ini akan sangat bergantung pada pengadilan Uni Afrika.

Berdasarkan kesepakatan damai 2015 yang merosot pada 2016,Uni Afrika danSudan Selatan seharusnya membentuk "pengadilan hibrida", yang terdiri dari hakim Sudan Selatan dan hakim Afrika lainnya. Setahun yang lalu, komisi PBB mengatakan Uni Afrikaterlibat dalam pertumpahan darah di Sudan Selatan karena gagal mendirikan pengadilan. PBB telah meminta agar pengadilan segera dibentuk.

"Pengadilan dapat segera dilakukan dan jaksa bisa mulai mengerjakan dakwaan,. Berdasarkan kesepakatan damai, mereka yang didakwa tidak dapat lagi menjabat," kata kepala komisi Yasmin Sooka.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement