Selasa 04 Feb 2020 15:39 WIB

Virus Corona Tutup Jalur Ekonomi Korea Utara

Korut menutup wilayah perbatasan China dan Rusia untuk mencegah wabah virus corona.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un menutup perbatasan untuk mencegah penyebaran virus corona, ilustrasi
Foto: Primorsky Regional Administration Press Service via AP
Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un menutup perbatasan untuk mencegah penyebaran virus corona, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Jalur kehidupan perekonomian Korea Utara (Korut) ke dunia luar hampir terputus. Korut memutuskan untuk menutup wilayah perbatasannya dengan China dan Rusia untuk mencegah penyebaran virus corona baru.

Korut yang menjadi salah satu negara paling tertutup di dunia, telah menghentikan penerbangan dan layanan kereta api dengan negara-negara tetangganya, termasuk menghentikan pariwisata internasional. Korut juga mewajibkan orang asing yang baru tiba di negara itu untuk dikarantina selama dua pekan.

Baca Juga

Penutupan dan pembatasan perjalanan dapat melukai upaya Pemimpin Korut, Kim Jong-un untuk memenuhi janjinya dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Upaya memajukan ekonomi Korut telah tersendat karena tidak ada kemajuan dalam negosiasi denuklirisasi dengan AS. Sanksi internasional telah menjatuhkan perekonomian negara tersebut.

Seorang pembelot Korut di Seoul, Kang Mi-jin mengkonfirmasi bahwa hampir seluruh perbatasan ditutuk sejak 30 Januari. Pemerintah Korut melarang lalu lintas orang dan barang melintasi perbatasan.

"Kementerian Angkatan Bersenjata memerintahkan semua pos penjagaan untuk melarang orang-orang, dan barang agar tidak bisa masuk maupun keluar," ujar Kang melaporkan untuk situs web Daily NK.

Pyongyang dilaporkan telah meminta Beijing agar tidak memulangkan para pembelot Korut yang ditahan di China. Menurut seorang sumber yang mengetahui situasi di perbatasan, warga Korut yang bekerja di China berada dalam "penahanan" di rumah-rumah mereka di bawah instruksi dari pihak berwenang Korut.

Kang mengatakan, wabah virus corona tidak hanya berdampak pada perekonomian Korut namun juga seluruh negara. Korut mengedepankan produk-produk lokal, tetapi bahan bakunya tetap diimpor dari China.

"Korut mempromosikan produk lokal untuk permen, kerupuk, hingga pakaian, namun bahan bakunya berasal dari China," ujar Kang.

Kang mengatakan, penutupan perbatasan sangat ketat yang dilakukan oleh Korut dapat berdampak pada sejumlah perayaan dan festival di negara tersebut. Hari libur politik Korut yang biasanya memberikan hadiah permen dan biskuit untuk anak-anak, diprediksi akan kurang meriah karena tidak ada bahan baku untuk memproduksinya.

Penutupan perbatasan juga dapat membatalkan parade militer dan perayaan lainnya hingga Februari. Seorang profesor di Far Eastern Federal University di Vladivostok, Artyom Lukin mengatakan, tingkat risiko ekonomi Korut bergantung kepada berapa lama penutupan perbatasan itu berlangsung.

"Jika penutupan berlanjut selama beberapa bulan dan lebih lama, ini tentu akan memiliki dampak negatif yang cukup besar pada Korea Utara," ujar Lukin.

Sementara itu, Kee Park dari Harvard Medical School mengatakan, Korut sangat mahir dalam menerapkan intervensi kesehatan dan bertindak cepat serta tegas dalam menghentikan penyakit agar tidak masuk ke negaranya. Namun, pembatasan dan sanksi internasional telah mempersulit mereka untuk mendapatkan pasukan medis.

Bank Korea Korea Selatan memperkirakan, pada 2018 ekonomi Korut menyusut selama dua tahun berturut-turut. Sementara, perdagangan internasional Korut nilainya turun hingga 48,4 persen.

Sebuah laporan oleh asosiasi perdagangan Korea Selatan menemukan, proporsi China dari keseluruhan perdagangan eksternal Korut naik menjadi 91,8 persen pada tahun lalu. Kenaikan itu cukup tinggi jika dibandingka pada tahun 2001 dengan 17,3 persen. Ribuan turis China disebut telah membuka jalur ekonomi tambahan bagi Korut.

"Jika situasi virus corona tidak diselesaikan dengan cepat, itu akan membuat hidup jauh lebih sulit bagi Korea Utara pada tahun 2020," kata Lukin. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement