Kementerian Luar Negeri Qatar mengumumkan bahwa perjanjian gencatan senjata kemanusiaan telah dicapai antara Israel dan Hamas, melalui mediasi bersama dengan Mesir dan Amerika Serikat. Qatar mengatakan, perjanjian tersebut mencakup pertukaran 50 tawanan perang Israel, termasuk perempuan dan anak-anak, yang saat ini ditahan di Jalur Gaza dengan imbalan pembebasan 150 perempuan dan anak-anak Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel. Qatar menambahkan, jumlah mereka yang dibebaskan akan ditingkatkan pada tahap implementasi perjanjian selanjutnya.
“Pekerjaan terus dilakukan dengan kedua pihak dan mitra kami di Kairo dan Washington untuk memastikan dimulainya gencatan senjata dengan cepat," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar.
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir menyebut gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas sebagai preseden berbahaya yang mengulangi kesalahan masa lalu. Dia menekankan pentingnya mempertahankan tekanan militer terhadap Hamas untuk mencapai kesepakatan penyanderaan komprehensif Israel.
"Kami mempunyai kewajiban moral untuk memulangkan semua orang, dan kami tidak mempunyai hak atau izin untuk menyetujui gagasan memisahkan mereka dan hanya memulangkan sebagian saja," ujar Ben-Gvir.
Ben-Gvir mengkritik negosiasi gencatan senjata karena kegagalannya menjamin pembebasan seluruh perempuan dan anak-anak yang ditahan di Gaza. Dia menganggap negosiasi itu tidak bermoral dan tidak logis.
“Hamas menginginkan gencatan senjata ini lebih dari apapun. Hamas juga ingin ‘menyingkirkan’ perempuan dan anak-anak pada tahap pertama, karena mereka menimbulkan tekanan internasional terhadap gencatan senjata tersebut. Sebagai imbalannya, mereka ingin mendapatkan bahan bakar, pembebasan teroris, penghentian tindakan IDF (Pasukan Pertahanan Israel) dan bahkan larangan penerbangan (pengintaian). Ia mendapatkan semua itu," kata Ben-Gvir.