Sabtu 31 Jul 2010 04:48 WIB

PBB Serukan Arab Saudi Hentikan Deportasi Warga Somalia

REPUBLIKA.CO.ID,JENEWA--Badan pengungsi PBB Jumat menyerukan Arab Saudi untuk menghentikan pemulangan warga Somalia ke Mogadishu, menegur kerajaan kaya minyak yang selama dua bulan terakhir memulangkan 2.000 orang Somalia ke ibu kota negaranya yang koyak dilanda perang. Negara-negara tetangga hendaknya memberikan penampungan legal kepada para pekerja Somalia dan para pencari suaka sampai mereka aman untuk kembali ke Mogadishu, tempat warga sipil sering dijadikan target dalam pertempuran antara pasukan Somalia dan gerilyawan al-Shabaab.

"Mengingat kekerasan yang mematikan di Mogadishu, UNHCR menyerukan pemerintah Saudi untuk mencegah deportasi-deportasi di waktu mendatang dengan alasan kemanusiaan," kata Melissa Fleming, wanita juru bicara Komisi Tinggi untuk Pengungsi PBB (UNHCR), dalam penjelasan pers. Arab Saudi mendeportasi sekitar 1.000 warga Somalia pada Juni dan hampir 1.000 selama Juli, katanya.

Sebagian besar warga Somalia yang dipulangkan adalah wanita. Banyak orang-orang yang dideportasi itu mengatakan, mereka lari dari Somalia untuk menghindari konflik, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), menurut laporan-laporan yang diterima oleh badan PBB itu dari mitra organisasi non pemerintah.

Sebagian besar mereka mengatakan berasal dari wilayah Somalia tengah dan selatan, termasuk Mogadishu.

"Sebelum mereka dideportasi, mereka dilaporkan ditempatkan dalam fasilitas tahahan selama beberapa pekan di bawah kondisi yang banyak disebut mengerikan," kata Fleming.

Arab Saudi, produser minyak terbesar OPEC, bukan di antara 144 negara yang telah menandatangani Konvensi Pengungsi 1951, yang bersedia membantu melindungi warga sipil yang melarikan diri dari konflik atau penganiayaan. Namun dengan mendeportasi warga Somalia, Saudi telah melanggar pedoman UNHCR yang diterbitkan Mei, yang mendesak semua negara memperketat pemulangan warga Somalia ke Somalia tengah dan selatan, menurut kantor yang berpusat di Jenewa.

sumber : ant/reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement