Rabu 28 Aug 2019 08:58 WIB

Curhat Polisi Kashmir: Kami Bukan Milik Kami Sendiri

Kami menjadi seperti juru tulis dan pembantu di lapangan untuk tentara.

Polisi Kashmir duduk-duduk di depan sebuah toko yang tutup di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Kamis (22/8).
Foto: AP Photo/Mukhtar Khan
Polisi Kashmir duduk-duduk di depan sebuah toko yang tutup di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Kamis (22/8).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Fergi Nadira

Tanpa senjata, tanpa peralatan antikerusuhan, bahkan tanpa seragam lengkap, sekelompok petugas kepolisian duduk di tepi jalan dan di luar toko di Srinagar, kota utama di Kashmir yang diatur India. Mereka menimbang-nimbang, kepada siapakah mereka harus berpihak.

Sebanyak 30 perwira polisi Kashmir yang tak mau disebutkan jati dirinya menceritakan bahwa mereka dilucuti oleh otoritas yang bernaung di New Delhi. Hal ini menjadi kelanjutan dari langkah-langkah pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi yang mencabut status istimewa Negara Bagian Jammu dan kashmir pada 5 Agustus.

Keesokan harinya, Modi melangkah lebih jauh dengan menyayat Jammu dan Kashmir menjadi dua union territory (UT) yang langsung dipimpin pemerintah pusat.Selama bertahun-tahun, polisi Kashmir terdepan dalam pengumpulan intelijen dan profil aktivis maupun militan bersenjata yang melawan Pemerintah India.

Beberapa hari sebelum status khusus Kashmir dicabut, puluhan ribu tentara pusat dikerahkan di kota-kota. Pihak berwenang mencabut akses internet, jangkauan telepon seluler.

Bahkan, pihak berwenang turut mencabut layanan telepon rumah. Hal ini membuat 12,5 penduduk Jammu dan Kashmir tidak dapat saling menghubungi keluarga yang berada di luar Kashmir.

Tak hanya itu, polisi negara bagian juga berada dalam kegamangan. Polisi menilai perubahan mendadak ini merupakan pengkhianatan oleh otoritas federal yang mereka dahulu layani meski menghadapi risiko dikucilkan secara sosial di tengah masyarakat.

Sejumlah perwira polisi mengaku, senjata api mereka diambil beberapa hari sebelum perintah dari Modi disampaikan di parlemen. Pemerintah India takut adanya pemberontakan polisi.

Polisi Kashmir merasa tidak memiliki tugas pasti ketika transisi dari negara semiotonom ke wilayah yang dikelola pemerintah federal. Berbeda dengan personel paramiliter India yang berjaga di lorong pemeriksaan bersenjatakan senapan serbu, senapan, tabung gas air mata, radio dua arah. Sementara itu, polisi Kashmir hanya membawa tongkat.

"Ini merupakan pekerjaan santai akhir-akhir ini," kata seorang petugas polisi Kashmir yang tengah membaca koran di pos pemeriksaan.

"Kami menjadi seperti juru tulis dan pembantu di lapangan untuk tentara. Mengapa kami harus membawa senjata? Bagaimanapun kami termasuk dari masyarakat yang terkepung," katanya menambahkan.

Ketika tentara tiba di Srinagar pada malam sebelum status Kashmir dicabut, kelompok pemberontak terbesar, Hizbul Mujahideen, meminta polisi Kashmir untuk bangkit bersama melawan New Delhi. "Orang Kashmir yang bekerja di kepolisian memiliki kesempatan untuk menebus diri mereka," ujar komandan pemberontak, Reyaz Naikoo.

Namun, juru bicara kepolisian Kashmir, Syed Javaid Mujtaba Gillani, menolak ajakan Naikoo. Ia menegaskan bahwa petugas menjalankan tugas profesional. Gillani mengatakan, hanya 20 persen petugas polisi Kashmir yang membawa senjata api. Pasukan kepolisian, kata dia, selalu ada dalam menegakkan hukum dan ketertiban.

Tugas seorang perwira polisi Kashmir memang menjadi perdebatan sejak 1947, ketika India dan Pakistan merdeka. Kashmir yang diperebutkan kemudian dibagi dua menjadi milik India dan Pakistan.

Di pihak yang dikuasai India, banyak warga Kashmir melihat polisi setempat sebagai antek bagi Pemerintah India yang berupaya menekan tuntutan rakyat soal kemerdekaan maupun bergabung dengan Pakistan. Pada 1950-an dan 1960-an, polisi secara rutin menahan warga karena mendengarkan radio Pakistan sebagai penyiar yang dikelola pemerintah. Aktivis anti-India ditangkap dan disiksa.

photo
Seorang polisi Kashmir berjaga di luar sebuah toko yang tutup di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Kamis (22/8).

Polisi Kashmir bertugas untuk menghentikan gerakan politik anti-India. Belakangan, keadaan membuat sebagian dari mereka berpaling dan mendukung aksi perlawanan Kashmir. Pada 1993, tentara India mengerahkan kontingen khusus bersama dengan tank-tank di Srinagar untuk menghancurkan perlawanan polisi yang berakhir dengan penangkapan ratusan polisi.

Dua tahun kemudian, India membentuk pasukan baru yang disebut Kelompok Operasi Khusus. Sebagian besar dari mereka berasal dari warga Kashmir yang sedang mencari lapangan kerja. Jumlah mereka langsung membengkak dari semula 18 ribu personel menjadi 100 ribu personel.

Pasukan yang ditakuti itu telah dituduh secara luas oleh warga Kashmir dan kelompok hak asasi manusia (HAM) atas pelanggaran HAM secara kejam, mulai dari eksekusi, penyiksaan dan pemerkosaan, hingga penculikan tersangka serta warga sipil untuk tebusan.

Namun, langkah kali ini oleh pemerintah pusat India membuat polisi Kashmir kehilangan semangatnya. Mereka merasa terperangkap di antara pasukan keamanan federal.

"Pada akhirnya kami bukan milik kami sendiri dan kita tidak dipercaya oleh otoritas yang lebih tinggi," ujar salah seorang polisi. n ap ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement