Sementara itu, Perdana Menteri Libya Abdul Hamid Dbeibeh mencari dukungan internasional untuk memastikan pemilihan digelar tepat waktu di negara itu.
"Hari ini kita dapat berbicara dengan suara yang bersatu dan mengatakan kita tidak akan kembali berperang," kata Dbeibeh, seraya menambahkan bahwa konferensi tersebut bertujuan untuk menilai kemajuan komitmen yang dibuat sejak Konferensi Berlin pertama yang menurutnya "belum cukup."
"Jalan kami menuju stabilitas dan persatuan negara kami dalam bahaya, kami masih ingin menjadi negara yang demokratis dan berdaulat," kata Perdana Menteri Libya.
Dbeibeh mengatakan setelah Konferensi Berlin pertama, Libya, dengan bantuan PBB, berhasil mengamankan gencatan senjata dan mengambil langkah menuju jalan persatuan terutama berkaitan dengan pencabutan blokade minyak.
PM Libya berjanji untuk melakukan segala upaya untuk mengadakan pemilihan tepat waktu dan meminta dukungan dari para peserta konferensi untuk memungkinkan meskipun "banyak hambatan."
Dbeibeh menekankan bahwa beberapa masalah tetap belum terpecahkan termasuk persetujuan parlemen atas anggaran dan masalah keamanan karena kelompok tentara bayaran masih ada di beberapa wilayah negara itu.
"Kami memiliki rencana keamanan yang komprehensif untuk mengamankan pemilu, dan kami mengharapkan adopsi undang-undang pemilu," sebut dia.
"Dengan bantuan kalian, kami berharap dapat melihat penarikan penuh tentara bayaran asing dan petarung asing untuk juga menerapkan resolusi Dewan Keamanan yang relevan. Rencana ini membutuhkan dana dan peralatan," tukas perdana menteri Libya itu.