Kamis 01 Jul 2021 18:39 WIB

Jutaan Rakyat Korea Utara di Ambang Kelaparan

Korea Utara tengah menghadapi krisis pangan

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Warga memakai masker di Pyongyang, Korea Utara Selasa (28/4).
Foto:

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan sanksi 2375 dan 2397 pada September dan Desember 2017, untuk membatasi impor minyak mentah dan produk minyak olahan Korea Utara.

Korea Utara telah dikenakan sanksi yang meningkat untuk program nuklir dan misilnya sejak 2006. Mantan Presiden AS Donald Trump memulai kampanye tekanan maksimum, mempelopori sanksi Dewan Keamanan dan menerapkan sanksi sepihak, yang bertujuan memaksa kepemimpinan Korea Utara menghentikan program rudal dan nuklirnya.

Langkah untuk menjatuhkan sanksi itu tidak memperlambat kemajuan nuklir Pyongyang. Trump kemudian mengubah taktiknya yaitu melakukan sejumlah pertemuan puncak dengan Kim.

"Sanksi tersebut tidak diterapkan dengan sempurna, tetapi tampaknya memenuhi tujuan dasar untuk menekan otoritas Korea Utara dengan memberikan pukulan serius terhadap ekonominya,” kata peneliti Kim Seok-jin dari Institut Korea untuk Unifikasi Nasional, kepada kantor berita Yonhap.

Terhambatnya kemajuan ekonomi Korea Utara akibat sanksi semakin diperburuk oleh penutupan perbatasan dengan Cina untuk mencegah Covid-19. Beijing merupakan mitra dagang terbesar Korea Utara. Sekitar 90 persen perdagangan luar negeri Korea Utara berasal dari Cina. 

Setelah penutupan tersebut, impor Korea Utara dari Cina anjlok 81 persen pada 2020. Barang-barang yang memasuki Korea Utara dari Cina sebagian besar berupa pupuk dan minyak. Sementara persediaan medis, barang-barang rumah tangga dan bahan makanan masih ditangguhkan. 

“Saya telah mendengar bahwa ada ribuan kontainer yang terjebak di pelabuhan Cina yang dimaksudkan untuk pergi ke Korea Utara, namun mereka tidak pernah sampai. Beberapa dari barang-barang itu telah mencapai tanggal kadaluarsa,” kata CEO konsultan KoreaRisk dan penerbit NK News, Chad O'Carroll.

Berhentinya impor menyebabkan kekacauan di pasar Korea Utara. Menurut Daily NK, harga satu kilo beras di Pyongyang naik 22 persen dalam satu pekan pada Juni. Kontrol perdagangan juga berkontribusi pada lonjakan harga beberapa barang impor, misalnya harga sebotol sampo telah meningkat 10 kali lipat, atau mencapai 200 dolar AS.

Fluktuasi harga telah mendorong warga Korea Utara untuk mengubah kebiasaan makan mereka. Warga Korea Utara kini mengganti nasi dengan jagung, yang harganya lebih murah. Sementara itu, meningkatnya biaya kebutuhan sehari-hari membuat indeks kebahagiaan warga Korea Utara turun.

"Jika ini terus berlanjut, mungkin ada keraguan tentang kepemimpinan Kim Jong Un dan dia akan merasakan tekanan politik, yang tampaknya dia anggap sebagai ancaman," ujar Direktur Korea Utara di Pusat Penelitian Asia Timur Laut dari Institut Jurnal Jaringan Strategi Global, Kwon Tae-jin.

Di tengah pembatasan dan penguncian Covid-19, beberapa kelompok bantuan yang masih bekerja di Korea Utara hampir seluruhnya ditarik. Pekerja bantuan internasional terakhir yaitu milik UNICEF dan Palang Merah yang meninggalkan Pyongyang pada Desember 2020.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement