Sabtu 17 Dec 2016 18:10 WIB

Hope School, Sekolah Alternatif Bagi Anak-Anak Suriah

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Ilham
Imigran yang tiba di Yunani berasal dari Suriah, Irak dan Afghanistan.
Foto:

Mantan koordinator Hope School, Basel Shrayyef (28 tahun) mengatakan, banyak tantangan bagi guru untuk mengajar anak-anak yang lama tak bersekolah akibat perang di Suriah, Irak, dan Afganistan. "Banyak dari anak-anak itu yang tak tahu bagaimana caranya memegang pencil."

Hampir 700 anak-anak didaftarkan ke Hope School saat sekolah itu diluncurkan enam bulan lalu. "Anak-anak ini melakukan berbagai kegiatan dan belajar bukan hanya duduk-duduk saja, tak melakukan apa-apa," kata Basel. Para guru membagi anak-anak di kelas berdasarkan level pendidikannya, bukan umurnya. Sebab, mereka sudah lama tak bersekolah hingga beberapa tahun lamanya.

"Para gurunya tak semuanya adalah guru dari negara masing-masing. Beberapa memang ada yang guru, namun ada juga yang lulusan universitas, saya sendiri sebenarnya seorang insinyur," katanya. Para guru ada yang di negaranya adalah insinyur, jurnalis, peneliti, dokter, perawat, dan tenaga medis. 

Hope School bekerja sama dengan Piraeus Open School. Piraeus Open School merupakan sekolah untuk migran yang didirikan 11 tahun lalu. Sekolah tersebut menyediakan kursus bahasa bagi para siswa Hope School.

Wakil dari Piraeus Open School, Nikon Agapakis mengatakan, pihaknya datang dan melihat anak-anak. "Kami memutuskan untuk melakukan sesuatu bagi anak-anak pengungsi," kata dia. Pihaknya akan berada di sana selama dibutuhkan. Namun memang harus melawan alasan yang menjadi terciptanya pengungsi, yakni perang.

Para pengungsi dan migran di Yunani sekarang menghadapi tantangan baru, yakni datangnya musim dingin. Meskipun PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya mendorong pengungsi untuk tinggal di tempat pengungsian yang lebih baik, termasuk apartamen dan tempat tinggal alternatif lainnya, masih banyak pengungsi yang tinggal di tempat pengungsian yang tak memenuhi standar dan tak bisa melindungi pengungsi dengan baikd dari dingin, hujan, dan salju.

PBB menyatakan, hal yang sangat dibutuhkan adalah memberikan rumah bagi 1.200 anak-anak yang tak ada orang tuanya. Mereka kekurangan akomodasi yang laik.

Juru Bicara UNHCR untuk Athena, Roland Schoenbauer mengatakan, Pemerintah Eropa harus melakukan tindakan untuk membantu memenuhi kebutuhan para pengungsi. "Musim dingin telah tiba sekarang, kami meminta semua pemangku kepentingan untuk mencari tempat pengungsian alternatif, terutama bagi para pengungsi dan anak-anak yang tinggal di tenda-tenda pengungsian."

Pekan lalu, Komisi Eropa merekomendasikan pengiriman sejumlah pencari suaka untuk dikirimkan kembali ke Yunani dari negara-negara Uni Eropa lainnya. Sikap Komisi Eropa dikecam keras oleh Human Right Watch (HRW) karena sangat tak manusiawi. "Sangat mengherankan Komisi Eropa bersikap semacam itu. Apalagi sekarang ribuan pengungsi sangat menderita akibat kebijakan Uni Eropa," ujar Peneliti HRW di Yunani, Eva Cosse.

Seharusnya, ujar Cosse, daripada membuat keputusan yang buruk, Pemerintah Eropa harusnya membantu meringankan beban para pengungsi dengan memberikan suaka dan memindahkan mereka ke negara-negara Uni Eropa lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement