Rabu 28 Aug 2019 07:39 WIB

Nasib Polisi Kashmir, tanpa Senjata dan Seragam Lengkap

Polisi Kashmir betugas menghentikan gerakan politik anti-India.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Ani Nursalikah
Seorang polisi Kashmir berjaga di luar sebuah toko yang tutup di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Kamis (22/8).
Foto:
Polisi Kashmir duduk-duduk di depan sebuah toko yang tutup di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Kamis (22/8).

Sejumlah petugas mengatakan, mereka tidak memiliki tugas pasti ketika transisi dari negara semi-otonom ke wilayah yang dikelola pemerintah federal. Berbeda dengan tentara India yang berjaga serius di lorong pemeriksaan bersenjatakan senapan serbu, senapan, tabung gas air mata, dan radio dua arah, polisi Kashmir hanya membawa tongkat.

"Ini adalah pekerjaan santai akhir-akhir ini. Kami menjadi seperti juru tulis dan pembantu di lapangan untuk tentara. Mengapa kami harus bawa senjata? Bagaimanapun, kami termasuk dari masyarakat yang terkepung," kata seorang petugas polisi Kashmir yang sedang membaca koran di pos pemeriksaan.

Ketika tentara tiba di Srinagar pada malam sebelum status Kashmir dicabut, kelompok pemberontak terbesar, Hizbul Mujahideen meminta polisi Kahsmir bangkit bersama melawan New Delhi. "Orang Kashmir yang bekerja di kepolisian memiliki kesempatan menebus diri mereka," ujar komandan gerilyawan Reyaz Naikoo.

Namun, juru bicara kepolisian Kashmir Syed Javaid Mujtaba Gillani menolak klaim Naikoo. Ia menegaskan petugas menjalankan tugas profesional.

Gillani mengatakan, hanya 20 persen petugas polisi Kashmir yang membawa senjata api. Pasukan kepolisian, kata dia selalu ada dalam menjaga hukum dan ketertiban.

Tugas seorang perwira polisi Kashmir memang menjadi perdebatan sejak 1947, ketika India menjadi negara merdeka dan membagi wilayah Kashmir dengan Pakistan. Sejak itu, lembah Alpine di Kashmir diperdebatkan India dan Pakistan hingga kini sebab keduanya mengklaim keseluruhan dari wilayah itu.

Di pihak yang dikuasai India, banyak warga Kashmir melihat polisi setempat sebagai antek bagi pemerintah India yang berupaya menekan tuntutan rakyat soal kemerdekaan maupun merger dengan Pakistan. Pada 1950-an dan 1960-an, polisi secara rutin menahan warga karena mendengarkan Radio Pakistan sebagai penyiar yang dikelola pemerintah. Aktivis anti-India ditangkap dan disiksa.

Polisi Kashmir betugas menghentikan gerakan politik anti-India. Selain itu, mereka memecah pemberontakan bersenjata dengan menyusup ke barisan mereka dan menangkap para penghasut. Ketika pemberontakan bersenjata terbaru terjadi pada 1989, polisi pada awalnya berperang melawannya. Dalam beberapa tahun, ketika pemberontak mulai menargetkan keluarga mereka, banyak dari polisi meninggalkan patroli dan tinggal di pos.

Beberapa bersimpati dan mendukung tuntutan pemberontak. Belasan polisi bergabung dengan barisan pemberontak, beberapa meningkat menjadi komandan. Pada 1993, tentara India mengerahkan kontingen khusus bersama dengan tank-tank di Srinagar untuk menghancurkan pemberontakan polisi yang berakhir dengan penangkapan ratusan petugas polisi.

Dua tahun kemudian, India membentuk pasukan polisi anti-pemberontakan baru yang disebut Kelompok Operasi Khusus, yang sebagian besar berasal dari anggota yang berasal dari daerah pegunungan yang paling termiliterisasi dan terpencil di dekat perbatasan de facto dengan Pakistan. Pasukan yang ditakuti itu telah dituduh secara luas oleh warga Kashmir dan kelompok hak asasi manusia atas pelanggaran ham secara brutal, mulai dari eksekusi, penyiksaan dan pemerkosaan hingga penculikan tersangka serta warga sipil untuk tebusan.

Namun, dengan adanya kesempatan kerja dalam ekonomi yang lumpuh oleh konflik selama beberapa dekade, negara bagian Kashmir akhirnya menarik banyak pelamar yang hendak bertugas jadi polisi. Departemen mengalami pembengkakan jumlah petugas sekitar 18 ribu pada awal 1990-an menjadi lebih dari 100 ribu hingga hari ini.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement